Sabtu, 28 Maret 2009

Ketika Politik Uang Menjadi Panglima

Bagaimanakah wajah DPRD mendatang ? Kalau melihat kenyataan hari ini, wajah DPRD mendatang jelas tidak akan lebih baik. Setidaknya sejumlah fakta memperkuat asumsi diatas seiring dengan ditetapkannya sistem suara terbanyak. Konsekwensi suara terbanyak pada pemilu 2009 adalah meningkatkan persaingan antar caleg dan menaikkan “bargaining” masyarakat pemilih. Semua orang mafhum untuk mendulang suara terbanyak di tengah suasana yang mencekam dan himpitan ekonomi seperti sekarang, seorang caleg tentu akan menggunakan uang sebagai jalan pintas. Uang menjadi panglima politik untuk meraih suara, maka yang namanya maney politik meski dilarang undang-undang tetap akan menjadi jalan terakhir para caleg. Kalau uang sudah menjadi mesin pemenangan, maka hanya caleg kapitalis yang berpeluang menang, sedangkan caleg miskin hanya bisa gigit jari. Kondisi ini jelas akan terjadi dalam beberapa bulan mendatang.

Kemudian pada tataran masyarakat pemilih pun demikian. Uang menjadi alat sihir yang menghipnotis, sehingga hak pilih mereka yang semula diberikan secara sukarela, kini diperjualbelikan. Masyarakat ramai-ramai melelang suara kepada para caleg yang sedang haus suara. Maka tidak heran bila selama masa kampanye ini transaksi dukungan menjadi fenomena yang lumrah. Beberapa alasan klasik yang dilontarkan masyarakat mengapa mereka demikian kapitalis adalah menurunnya kepercayaan mereka kepada lembaga partai politik dan DPRD. Ini merupakan imbas karena wakil rakyat di masa lalu dianggap telah meninggalkan konstituen dan tak peduli. Para anggota dewan hanya datang ketika musim pemilu datang, itulah mengapa mereka apriori. Sayangnya masyarakat juga ikut membuang kekesalan kepada caleg baru yang belum pernah berbuat kesalahan karena memang baru terjun di politik.

Dengan dua kondisi diatas, jelaslah wajah parlemen akan semakin bopeng dan memburuk karena diisi para wakil rakyat yang berjudi nasib dengan uang. Semua orang tahu, uang yang dihabiskan para caleg tidak semuanya bersumber dari uang pribadi. Malah kebanyakan uang dari sponsor dan investor yang mengharapkan imbalan balas budi. Logika mudahnya, pada awal menjabat nanti para caleg akan berpikir bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Berdasarkan pengalaman anggota DPRD 2004-2009, cara mudah mendapatkan uang adalah dengan menjadi agen proyek, korupsi anggaran, menerima suap dan memotong bantuan dana aspirasi. Pengalaman ini akan kembali dipraktekkan pada periode 2009-2013, karena kebanyakan caleg yang maju sekarang adalah para incumbent yang telah menikmati manisnya proyek dan indahnya menyunat dana aspirasi. Inilah rahasianya kenapa para wakil rakyat incumbent begitu dermawan, murah hati dan royal, karena punya dana aspirasi yang bersumber dari APBD.

Para caleg yang baru terpilih nanti pasti akan “berguru” kepada wakil rakyat senior yang trampil memainkan proyek dan anggaran tanpa harus berurusan dengan kejaksaan. Hanya Kabupaten Garut saja yang kejaksaannya “hareeng” lalu mengusut dana aspirasi yang diselewengkan anggota dewan. Sementara para wakil rakyat di Kabupaten Ciamis, Tasik, Sumedang dan Banjar bisa tidur nyenyak karena penegak hukum sudah bisa diajak main mata. Itulah sebabnya kenapa mereka kini percaya diri mencalonkan diri kembali di panggung politik. Tapi terserahlah itu hak mereka, apalagi masyarakat juga senang-senang saja dana aspirasinya disunat karena harus berbagi.

Maka bisa dipastikan para wakil rakyat 2009-2013 sedikit atau banyak juga akan mewarisi prilaku seniornya bahkan posisi mereka akan semakin kuat. Pasalnya mereka punya legitimasi dan mandat dari pemilih kapitalis yang menjual suaranya. Masyarakat tidak akan ambil pusing bilamana nanti anggaran pembangunan banyak kebocoran atau dikorupsi. Kalaupun ada elemen masyarakat yang meneriakkan pemberantasan korupsi paling-paling mereka adalah mahasiswa dan masyarakat yang tidak kebagian kue pembangunan. Jadi kelak akan semakin subur dan leluasa para wakil rakyat mengakali anggaran. Kalau sudah begini bisakah kita berharap akan lahir perubahan pasca pemilu? Tampaknya perubahan tidak akan lahir di tengah keganasan uang panas.

Padahal sejatinya pemilu digelar dengan tujuan mulia, yakni menawarkan perubahan yang dibawa oleh pemimpin hasil pemilu. Lewat pemilu pula kita diberi kesempatan menyeleksi calon pemimpin yang akan menjadi wakil di gedung parlemen. Kita punya kesempatan untuk menentukan wajah parlemen mendatang dengan banyaknya caleg. Tapi kita telah menyia-nyiakan kesempatan ini dengan memenuhi otak kita dengan kebingungan lalu melelang suara dengan sejumlah uang. Kita sama sekali tidak pernah memikirkan masa depan lagi sebab telah terjebak pada kondisi kekinian. Kecerdasan kita dalam memilih telah dikalahkan oleh kebutuhan perut, sehingga kita tidak bertanggungjawab dengan perubahan.

Wajah parlemen mendatang sesungguhnya merepresentasikan aspirasi, sikap dan pemikiran kita sebagai masyarakat. Disanalah kita akan melakukan jihad menuju sebuah perubahan kebijakan agar memihak kepada kepentingan kita. Nasib kita akan berubah sesuai dengan ikhtiar, dan seberapa maksimal ikhtiar kita itulah yang akan menentukan takdir Tuhan. Pemilu adalah ikhtiar kolektif dan wadah yang menyatukan takdir kita. Maka jika dalam ikhtiar ini kita sudah menempuh cara yang salah, adakah kebaikan yang menghampiri kita? Apakah untuk mengerti dan memahami sebuah hikmah kita harus menunggu Tuhan murka lalu kita menyatakan bertobat? Belum cukupkah pengalaman masa lalu yang pahit menyadarkan kita ?

Akhirnya pilihan akhir ada pada kita masing-masing. Kata Nabi dalam hadisnya,”barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin ia orang beruntung. Jika hari ini sama dengan hari kemarin ia termasuk orang merugi. Dan barangsiapa hari ini lebih jelek dari hari kemarin ia termasuk orang celaka”. Nah, jika kelak hasil pemilu menghasilkan wakil rakyat yang kualitasnya lebih jelek dari hari kemarin, kita berarti sudah termasuk orang yang celaka.

Kalau sudah begini, kira-kira bisakah lahir sebuah kebijakan yang sarat dengan kebaikan dan kemaslahatan? Dalam situasi yang demikian kaidah Ushul Fiqh mengatakan: “mencegah keburukan harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”. Maslahat yang sedikit yang diikuti dengan keburukan yang banyak menuntut kita mengabil sikap. Dan sikap yang paling aman adalah bagaimana mengeliminir keburukan daripada menerima maslahat yang tak seberapa. Uang suap dari caleg paling besar Rp 50 ribu perkepala kalaupun maslahat sehari itu saja. Sementara keburukan yang harus kita terima sepanjang lima tahun. Secara bisnis ini jelas sangat tidak menguntungkan, jadi masihkah kita akan menggadaikan suara kita ? ***

*Penulis, mahasiswa Pascasarjana Magister Sains Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Sudirman, Purwokwerto, Jawa Tengah.