Rabu, 29 Desember 2010

Cinta Yang Tulus

Siapakah yang tahu kedalaman hati manusia? Ternyata tidak ada yang bisa mengukur , apalagi mengukur kedalaman cinta. Dua insan yang saling mencintai dan hidup dalam suasana rumah tangga baru merasakan cinta pasangannya setelah salah satu pasangannya meninggal dunia. Ada sebuah kisah nyata yang dialami seorang ibu, ia mengalami penyesalan sepanjang hayatnya, karena terlambat memahami suaminya. Si ibu ini punya suami yang pendiam tapi sibuk dalam berbisnis. Selama berumahtangga, si ibu tak kekurangan materi dan dikaruniai anak soleh. Namun karena suaminya sibuk, ibu ini marah-marah karena banyak pekerjaan rumah yang tidak tertangani. Setiap suaminya datang ia marah dan menyalahkan, bahkan curiga suaminya punya selingkuhan. Pertengkaran pun sulit terelakkan, karena sang ibu ini tidak mau mendengar alasan suaminya. Begitu hingga bertahun-tahun lamanya. sampai suatu ketika sang suami jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.

Dalam keadaan sedih dan berduka, si ibu membereskan meja kerja suaminya. Tanpa sengaja si ibu menemukan selembar kertas surat yang ditulis suaminya sebelum meninggal dunia. Si ibu membaca dengan cermat surat itu. "Ibu, maafkan aku yang terlalu sibuk bisnis sehingga tidak bisa membantumu dan memperhatikanmu. Maafkan aku yang belum bisa mendidik anak-anak dengan baik. Sebenarnya semua ini aku lakukan karena cintaku yang besar dan mendalam kepada ibu dan anak-anak, makanya aku bekerja penuh waktu dan tak peduli dengan kesehatanku. Aku bekerja keras untuk menyiapkan masa depan anak-anak agar mereka bisa hidup layak di kemudian hari. Apa yang aku rintis ini memang belum besar, namun aku berharap kelak anak-anak akan membesarkan bisnis ini. Dari sekadar perusahaan rumahan menjadi perusahaan publik dengan atas nama anak kita. Semua biaya pendidikan anak-anak sudah aku siapkan di rekening, ambillah saat mereka memerlukannya,". Wassalam.

Sang ibu terperanjat membaca surat itu. Selama ini ia belum mengurus suami dengan sepenuh hati, malah sering mengajaknya bertengkar. Ia baru sadar betapa suaminya mencintainya, karena suami ini bertanggungjawab terhadap keluarganya. Ibu ini pun menangis sejadi-jadinya karena telah menyia-nyiakan suami yang telah mengorbankan dirinya untuk masa depan keluarga. Nasi sudah menjadi bubur, semua terlambat karena "kedalaman" cinta sang suami itu telah disalahpahami sang ibu. Si ibu ini sudah kehilangan kesempatan berbuat baik karena suami yang telah berkorban itu telah diabaikan kebaikannya. Haruskah kisah ini menjadi keseharian kita?

Di sebuah tempat yang lain, seorang suami yang pendiam namun membuktikan cintanya lewat sikap dan tanggungjawab juga mengalami kisah tragis. Sang istri yang awal pernikahan begitu mencintai hingga membuahkan keturunan, di tengah jalan menjalin hubungan selingkuh dengan pria lain. Alasan si istri sepele bahwa suaminya sudah tidak perhatian dan tidak romantis dibanding selingkuhannya. Dan tentu banyak lagi alasan untuk membenarkan perselingkuhan itu dan memojokkan si suami. Sampai suatu ketika sang istri memilih bercerai dan akan hidup bersama selingkuhannya.Haruskah kisah istri ini juga menjadi karakter keseharian kita?

Dua kisah diatas tidak seharusnya menjadi karakter kita, sebab memang tidak ada yang bisa mengukur kedalaman cinta manusia kecuali hanya melihat gejalanya saja. Makanya orang akan menilai dan mengukur kedalaman itu dari sikap, tutur kata dan pengorbanan seseorang. Mereka yang tulus dan tanpa pamrih akan membahasakan sikap, tutur kata dan pengorbanannya dalam sunyi dan diam tapi dampaknya sangat terasa. Cintanya tidak dilisankan agar didengar pasangannya, namun kalau dia tidak ada sang pasangan akan merasa kehilangan. Orang dengan cinta berbalut diam ini sangat dirindukan kala jauh. Namun saat dekat dianggap tak bermakna bahkan dianggap cuek dan tidak mencintai pasangannya. Makanya dia sering dijadikan sasaran amarah hanya karena cintanya yang diam.

Sebaliknya orang yang cintanya berbalut pamrih dan kepentingan nafsu, akan membahasakan sikap, tutur kata dan pengorbanan dalam verbalisme. Sikapnya meyakinkan dan lebih persuasif seolah dialah yang paling perhatian. Tutur katanya romantis dan bombastis agar dipercaya bahwa dialah yang paling mencintainya. Dialah yang bisa membahagiakan pasangan. Pun dalam pengorbanan ia pamerkan agar memukau pasangannya. Dia baru berkorban sedikit tapi sudah minta imbalan yang lebih besar dengan atas nama cinta. Dia baru berkorban dengan cincin syubhat yang harganya murah sudah meminta cinta sang perempuan. Semua diartikan sebagai tanda cinta dan kasih sayang. Padahal semua itu ada pamrih karena dia ingin sesuatu. Ini tipe lelaki yang disenangi perempuan makanya suami yang pendiam pasti akan masuk kotak meski sudah berkorban sepenuh hati.

Dalam dua karakter yang berbeda ini, manakah yang paling dalam cintanya? Si pendiam atau si manusia pamer yang akan dijadikan pendamping hidup? Pilihan ada dalam hati masing-masing. **

Selasa, 07 September 2010

Mudik itu Kembali ke Asal

Idul Fitri merupakan salah satu fase perjalanan ruhani menuju ke asalnya. Selama ini ruhani kita dijejali dengan berbabagai ambisi dan kebusukan. Di bulan Ramadhan kebusukan itu dibakar dengan berpuasa, harapannya setelah dibakar hati sebagai manifestasi ruhani akan kembali cerah dan suci bagaikan baru lahir. Inilah hakekat idul fitri yang menjadi rutinitas umat Islam

Sabtu, 07 Agustus 2010

Jagalah Prasangka

Dalam sebuah hadis qudsi Allah bersabda: "Sesungguhnya Aku ada dalam prasangka hamba-Ku". Hadis qudsi ini memberikan sinyal bahwa Allah akan mengabulkan prasangka hambanya, entah prasangka baik maupun buruk. Maka sebaik-baik prasangka dalam Islam adalah "husnudhon" yakni berprasangka baik, sebab ini paling maslahat dan kecil resikonya dibandingkan dengan "su'udhon" (prasangka buruk). Islam selalu mengajarkan bagaimana manajemen prasangka dalam konteks kebajikan, baik prasangka kepada Allah dan manusia. Mengapa Islam mengajarkan berprasangka baik? Ternyata dalam kehidupan sehari-hari manusia paling tidak siap dengan keadaan pahit apalagi yang bersumber dari pikiran negatifnya.

Pada saat pikiran kita membangun prasangka, di sana ada kekuasaan Allah yang akan mengarahkan kemana prasangka itu ditujukan. Kalau kebetulan berprasangka baik kepada Allah, maka Allah akan memberikan yang terbaik dalam setiap event dan peristiwa manusia, meskipun peristiwa itu benar-benar pahit. Ini realisasi dari hadits qudsi diatas, bahwa Allah berada dalam prasangka hamba-Nya. Sebaliknya mereka yang berprasangka buruk kepada Allah, juga akan menerima kegetiran dan kepahitan atas buah pikirannnya sendiri. Inilah yang menghiasi lembara sejarah kehidupan manusia, bagaimana sebuah prasangka buruk bisa memicu konflik dan peperangan. Semua berawal dari sebuah prasangka buruk.

Mungkin kecenderungan manusia senang dengan yang berbau negatif, isu, rumor dan gosip, makanya Islam memberikan tuntunan bagaimana berpikir dan berprasangka positif agar hasilnya menjadi baik. Kita tidak akan pernah rugi dengan berprasangka baik ke Allah dan sesama manusia, sebab muara dari semuanya adalah kita sendiri. Kita selalu melihat ke luar diri, sementara yang ada dalam diri kita terabaikan, sehingga lebih peka merasakan kesalahan orang lain daripada diri sendiri. Yang parah lagi kalau sesuatu yang belum tentu salah tapi karena kita tidak suka menjadi salah. Lalu itu dianggap sebuah kesalahan padahal parameternya hanya rasa suka tidak suka.

Husnudhon atau berprasangka baik sejatinya merupakan energi untuk menetralkan kekuatan nafsu yang bersumber dari amarah alias energi api. Api punya kekuatan membakar dalam kadar tertentu, namun api juga menjadi sumber cahaya tatkala sudah ditaklukan unsur membakarnya. Husnudhon adalah api yang menjadi cahaya sehingga yang bersangkutan tidak menjadi korban dan pelaku yang membakar. Dengan berhusnudhon seseorang telah menjadikan dirinya hangat, penuh optimisme dan tak terlibat pada prasangka buruk, ghibah, rumor dan isu.

Bayangkan betapa muramnya dunia ini jika setiap waktu manusia saling menebar curiga, berpikir negatif kepada orang, berprasangka buruk kepada orang, dan selalu mencari kesalahan orang. Betapa tidak nikmatnya hidup kalau setiap hari mulut, mata, dan telinga kita hanya dijejali gosip, rumor dan informasi yang memaparkan aib dan kejelekan orang lain. Lalu apa artinya kebajikan dan amal soleh, sebab semua kebajikan sudah dibakar dengan berbagai keburukan.

Selasa, 06 Juli 2010

Hidup Itu Memilih

Sesungguhnya Allah memberikan kebebasan penuh kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Bagi yang ingin hidup di bawah ridho Allah, dia akan menempuh jalan kebajikan.Sebaliknya bagi yang memilih hidup dengan hawa nafsunya, disana ada jalan menuju neraka. Persoalannya, ada kalanya kita tak punya kesempatan memilih apalagi menentukan pilihan. Kadang hatinya ingin baik, namun situasi mendorong untuk jahat. Kadang prilakunya baik, tapi terjebak dalam keburukan dan kejahatan. Ada banyak wasilah yang mendorong manusia terjebak dalam keburukan atau kebajikan.

Jihad itu ada disini, yakni di antara banyak pilihan yang semuanya bukan pilihan, tapi sudah terpilih dalam keadaan yang bukan pilihan. Misalnya, kita memilih menjadi guru, namun takdir mendorongnya menjadi pedagang. Atau kadang pilihan sulit yang mencemaskan karena mengandung bahaya yang sangat besar. Bagaimanakah manajemen konflik dengan hidup yang tak sempat melakukan sebuah pilihan itu? Disinilah kecerdasan dan kreatifitas sangat diperlukan untuk mensiasati keadaan yang serba tidak menguntungkan.

Semua orang ingin hidup enak, nyaman dan sesuai dengan pikirannya. Namun kenyataan membuktikan, semua yang dialami sama sekali berbeda, malah kadang bertentangan. Kalau kita yang berada pada situasi yang menerima takdir yang tidak menguntungkan, apa yang bisa kita lakukan? Sebagai hamba Allah, pertama kita harus berprasangka baik kepada Allah, barangkali di balik cobaan dan ujian yang tidak mengenakkan itu ada hikmah kebaikan. Kedua, ikhlas menerima yang bertentangan dengan hati agar kuat menerima cobaan. Dengan ikhlas, hati terasa ringan menjalani takdir nan pahit sekalipun.

Akhirnya semua kembali kepada diri kita, kuat dan tidaknya menjalani kepahitan itu hasil riyadhoh, bukan pemberian. Maka mereka yang hatinya lemah dan jarang berlatih akan tenggelam dalam duka tatkala mendapatkan pilihan pahit yang tidak dipilihnya. Sedangkan yang hatinya kuat akan menjadikan ujian sebagai motivasi menaikkan derajat kehidupannya. Semua terbentang didepan mata, sekarang hanya tinggal kemana kaki melangkah, disanalah manis pahit bisa dirasa.**

Dibenci Tapi Bahagia

Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: 'Saat kau bergembira atas cobaan dan penderitaan orang lain, boleh jadi Allah akan merahmatinya, dan akan mengalihkan cobaan dan penderitaan itu kepadamu'. Sekarang ini ada kencenderungan orang berbahagia melihat orang menderita, tersiksa dan menjadi korban sebuah penderitaan. Padahal saat kita merasakan gembira atas penderitaan orang, disana sebuah penderitaan yang sama juga sedang menanti kita. Inilah hukum kausalitas, siapa yang menabur angin akan menuai badai. Saat kita membenci sebuah perbuatan, sementara yang kita benci belum tentu seperti yang kita bayangkan, maka esok atau lusa yang kita benci itu kita kerjakan.

Mungkin dalam bahasa lokal itulah yang namanya kualat. Sebuah bahasa untuk menggambarkan betapa sebuah sikap akan selalu menimbulkan reaksi yang seirama atau malah bertentangan. Orang yang paling tidak siap adalah ketika menerima kejadian yang ia benci tapi teralami. Inilah mengapa banyak orang yang kemudian jatuh sakit hingga berakhir dengan kematian. Ia memelihara kebencian dan kedengkian hingga badannya melemah dan meregang nyawa.

Maka jika hari ini kau menjadi orang yang dijadikan sasaran kebencian dan jadi sarana orang bahagia atas penderitaanmu, ada peluang Allah akan menurunkan rahmatnya kepadamu. Sementara orang yang sekarang berada dalam kepuasan atas penderitaan kita, esok akan banjir air mata, meratapi nasib yang dulu kita derita. Siapkah jika ini menjadi sebuah kenyataan?

Wahai engkau yang sedang menata hati, memperbaiki diri dan memperindah akhlak, sesungguhnya hukum kausalitas ini akan senantiasa berputar menyapa penduduk bumi. Allah berfirman: boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal disana ada kebaikan. Sebaliknya boleh jadi kamu mencintai sesuatu padahal disana ada keburukan. Nabi juga bersabda; cintailah segala sesuatu sekadarnya saja, sebab boleh jadi kau membencinya. Dan bencilah sesuatu sekadarnya, sebab siapa tahu esok kau mencintainya.

Semua ada balasan, semua ada kifaratnya. Hanya mereka yang bisa menahan diri dan mengendalikan nafsu saja yang bisa selamat. Penderitaan dan ujian sebenarnya cara Allah mengungkapkan cinta kepada hambanya terkasih. Maka tidak sepantasnya kita membenci orang dicintai Allah, jika cobaan dan ujian itu demi kebaikan yang dicintai-Nya. Saatnya bermuhasabah, jangan-jangan kita selama sudah menjadikan semua panca indra kita sebagai wasilah penebar fitnah, ghibah, dan namimah. Padahal semua panca indra harus digunakan sesuai dengan perintah Allah.**

Beratnya Ikhlas

Ikhlas adalah satu kata yang mengandung banyak makna dan tafsir. Dalam berbagai ayat, ikhlas dimaksudkan untuk menggambarkan orang-orang yang mencintai hanya untuk Allah, tulus dan tidak ada pamrih apapun dalam beribadah. Ia beribadah murni karena Allah, tidak karena takut neraka atau mengharapkan surga. Inilah tingkatan tertinggi dalam beribadah, maka orang tidak akan pernah masuk kriteria ikhlas bila semua amal perbuatannya masih mencari pamrih kepada makhluk. Untuk mencapai tangga ikhlas, tentu saja banyak rintangan dan halangan, sebab godaan selalu datang.

Kemudian dalam konteks personalitas, ikhlas itu adalah bagaimana kita bisa menerima dan memberi tanpa meminta imbalan setimpal atau punya kepentingan lain. Entah yang datangnya dari Allah maupun dari manusia. Kalau kita sedang diberi ujian dan cobaan oleh Allah, berarti ikhlas adalah bagaimana kita mampu menahan beban ujian tanpa ada rasa berat.Pun pada saat kita harus memberi sesuatu ke sesama, maka ikhlas adalah bagaimana membuat hati tetap legawa, lapang dada dan tanpa beban saat memberikan sesuatu yang kita cintai. Bahkan kita juga harus ikhlas ketika orang yang menerima kebaikan kita akhirnya membalas dengan kejahatan.

Ikhlas itu bagaikan matahari yang selalu bersinar terang, meskipun semua penduduk bumi tak pernah berterimakasih. Ia tetap memberikan kebaikan kepada makhluk. Ikhlas itu bagaikan ikan yang ada dilautan, ia tetap memberikan yang terbaik kepada manusia tanpa harus membebani manusia. Ikhlas itu bagaikan siang dan malam yang tidak saling berbenturan karena ikhlas dengan peran masing-masing. Ikhlas itu bagaikan seorang guru yang mengajari muridnya tanpa beban berat, meski ia sedang mengalami masalah yang maha berat. Ikhlas itu bagaikan seorang kekasih yang memberikan maaf kepada pasangannya meski ia tahu sang pasangan punya kesalahan yang maha berat. Ikhlas itu bagaikan samudra nan luas yang bisa menampung segala macam kotoran menjadi tawar dan tak membahayakan bagi kehidupan.

Siapakah orang yang sanggup melakukan ikhlas yang maha berat itu? Anda, saya atau kita? Semua ada dalam hati masing-masing, yang jelas ada kriterianya, bahwa ikhlas itu adalah melakukan apapun selalu merasa dalam pengawasan Allah, sehingga semua perbuatan kita terkontrol. Kita bisa menjadi apapun dalam kehidupan ini, namun ruhnya harus bersih dan ikhlas sehingga selalu memberikan manfaat kepada sesama dan di mata Allah termasuk orang yang mukhlisin. Inilah tujuan tertinggi dalam penghambaan kita kepada Allah.

Dengan demikian, orang yang hatinya diliputi kabut hitam dan tak pernah tercerahkan, sangat berat melakukan ilmu ikhlas. Mereka yang masih dibelit oleh ambisi, masih senang dipuji, masih gampang merasa tersakiti, sulit memberikan maaf, sulit berbuat baik, hatinya selalu dengki dan perbuatannya selalu menyebabkan kesusahan orang lain, dijamin ikhlas hanya sekadar fatamorgana. Orang jenis ini jauh sekali dari cahaya keikhlasan. Maka bayangkan jika kita hidup dalam jangka waktu lama dengan orang jenis ini, yaitu jenis orang yang tak pernah ikhlas, dipastikan hidup tak akan tenang dan indah. Kalau nurani kita masih bersih, pasti tak akan sanggup berdekatan dengan orang yang membenci ikhlas.

Itulah sebabnya kata Nabi Muhammad, salah satu pekerjaan yang sangat berat adalah ikhlas. Jangankan manusia biasa, setingkat sahabatpun banyak yang belum lulus. Tapi mereka terus berlatih mengalahkan nafsunya sendiri, sehingga di akhir cerita para sahabat banyak yang menjadi orang-orang ikhlas dalam segala hal. Bukan hanya materi, tapi jiwa dan raganya dikorban demi Islam. Semoga kita bagian dari barisan orang-orang mukhlisin. Amien.

Cahaya Kebajikan

Sekali waktu cobalah merenungi kembali perjalanan hidup kita. Ternyata sebagian besar energi hidup kita dicurahkan kepada sesuatu yang kelam, hitam dan tak bercahaya. Mereka yang mengawali perjalanan hidupnya dengan cahaya kebajikan: memulai langkah dengan yang baik, selalu terjebak kepada rasa takabur saat melihat yang hitam, kelam dan menyakitkan. Perbuatan kita dimata umum memang baik, misalnya ibadahnya rajin, suka menolong orang, santun, nasehatnya bagus dan terlihat membenci kemungkaran. Namun didalam lubuk hati orang yang masuk dalam golongan "orang baik" tersembunyi energi negatif yang melihat dunia serba hitam: mudah curiga, mudah sakit hati, mudah mencela, mudah menghina dan mudah menyalahkan serta mencari kesalahan tanpa dia bisa memperbaiki keadaan. Makanya orang baik jenis ini tak pernah diberi amanah oleh Allah untuk memperbaiki akhlak orang yang sudah bejat dan rusak. Malah sebaliknya orang baik berubah jadi jahat karena pikiran negatif orang baik.

Sekarang lihat di sudut lain kehidupan ini, yakni mereka yang mengawali perjalanannya dengan langkah serba kelam, hitam dan penuh kegelapan. Orang ini memang tidak pernah mendapatkan cahaya kebajikan, karena semua panca indranya tertutup oleh berbagai kesulitan dunia. Hidup mereka berlumuran dosa, membunuh, merampok, berzina, mencuri dan mabok-mabokan. Hampir semua perbuatan jahat dilakukan bagaikan yang dialami Fudhail bin Iyadh, seorang sufi yang kemudian menempuh jalan kebajikan. Tak ada cahaya setitikpun sebab mereka dijauhi orang-orang baik, bahkan menjadi musuh orang-orang baik. Tapi benarkah dalam fitrahnya tidak tersimpan cahaya kebajikan?

Mari kita telaah dengan kacamata yang berbeda. Dalam diri orang yang baik selalu dibisiki pikiran negatif berupa riya, takabur, sombong dan ujub (bangga dengan diri sendiri). Makanya Allah mengajarkan kebajikan kepada orang yang mau baik dengan akhlak mulia: tawadhu, tawakkal, rendah hati, ikhlas dan qonaah. Ini sesungguhnya akhlak yang harus dipunyai orang yang baik. Namun kebanyakan akhlak terpuji ini menjauh, kemudian yang negatif bersembunyi dalam jiwa orang baik. Pikiran negatif yang berada dalam benak orang baik akan selalu dibenarkan dan banyak mendapatkan dukungan. Apalagi kalau yang punya pikiran negatif seorang yang punya kedudukan.

Sebaliknya, di dunia orang kelam yang serba jahat, sebenarnya juga tersimpan fitrah kebajikan. Hanya karena prilaku mereka yang jahat, mereka berbicara dan berbuat baik sekalipun selalu disangka jahat oleh orang baik. Dalam hati mereka sebenarnya masih ada cahaya kebajikan, mereka masih bisa berpikir positif karena kejahatan yang dia lakukan semata-mata terdesak atas kesulitan yang tak bisa dipecahkan. Mereka bisa menerima orang baik yang tulus tanpa berprasangka buruk apalagi menilai kejahatan dengan cara jahat. Bahkan mereka bisa bersahabat baik tanpa saling merugikan, sebab mereka punya solidaritas saat kita berempati. Orang baik jenis inilah yang bisa mengajak mereka ke cahaya dan menempuh jalan pertobatan.

Andaikan saya mengalami dua situasi ini, maka yang paling sulit adalah menjadi baik dikalangan orang baik tapi berpikiran negatif. Hidup terasa tertekan dan jadi beban jika setiap waktu dijadikan sasaran keburukan orang-orang baik. Bila setiap waktu pikiran negatif menjadi karakter orang baik, maka sesungguhnya saat itu pula pintu kejahatan sudah terbuka. Dan kalau mental kuat ternyata lebih mudah menjadi baik di kalangan penghuni kekelaman karena ada peluang mengajak orang menjadi baik dan mentobati perbuatannya yang jahat. Inilah misi Muhammad saat diangkat menjadi nabi. Makanya Nabi Muhammad itu diturunkan di kalangan Bani Quraisy musrik dan jahat untuk mengajak mereka kembali kepada akhlak mulia.

Seharusnya orang-orang baik itu mencontoh Nabi Muhammad agar bisa membawa misi cahaya. Dengan begitu, apapun yang dilakukan orang-orang baik akan maslahat dan akan menjadi penebar kebajikan. Buat apa mengaku jadi orang baik kalau perbuatan dan mulutnya menjadi ajang penebar keburukan? Jangan jadikan baju kebajikan untuk menyembunyikan pikiran jahat karena itu akan lebih membahayakan, dan dampaknya sangat massif daripada penjahat yang asli. Semoga kita sanggup menjadi yang terbaik dalam situasi apapun dan dalam peran apapun. Amien.

Kamis, 27 Mei 2010

Kerinduanku

Hari ini aku begitu merindukanmu wahai sang guru? Saat itu aku tertatih-tatih menatap masa depan, kau rengkuh aku dalam kehangatan kasih sayangmu. Kau tenangkan aku saat degup jantung tak menentu. Kau usap kepala dengan untaian doa-doa, lalu kau bimbing aku mengenal bagaimana sebuah sistem kehidupan berputar. Kau ajari aku mengeja huruf hijaiyah, ya kehidupan itu persis dengan urutan huruf hijaiyah,dimulai dari huruf alif. Kesabaranmu mendidik agar aku memahami filosofi huruf hijaiyah lalu dirangkai dalam kalimat dan tanpa harokat, adalah sebuah kenangan indah. Apalagi saat aku bisa membaca huruf Arab gundul, aku bersukaria, ternyata disana ada banyak simbol kehidupan.

Kini puluhan tahun berlalu, tak terasa aku sudah tenggelam dalam lumpur kehidupan mengeja kembali huruf demi huruf kehidupan. Aku kembali ke titik nol ternyata kehidupan itu terangkai dalam huruf hijaiyah, aku sekarang sedang proses menuju huruf yang makin sulit di eja lagi, sebab huruf itu telah menjadi kalimat mustarok, satu kata tapi banyak makna. Satu sikap ternyata banyak makna, satu perbuatan ternyata banyak tafsir. Satu cinta ternyata sejuta rasa, satu kebencian ternyata beribu kedengkian, satu kebahagiaan ternyata seribu ungkapan. Begitu seterusnya hingga tak terbatas makna dan ungkapan, sebab semuanya mewakili perasaan manusia.

Wahai Sang Guru, pada saat seperti ini aku ingin sekali dekat dan mencium tanganmu, bersimpuh mengaji kembali seperti dahulu. Namun jarak yang demikian jauh membuatku harus bersabar bertemu denganmu. Aku berharap sang guru masih seperti dulu: tawadhu, qonaah, wirai, dan selalu menjaga muruah. Sebab disanalah ada kehormatan bagimu sang guru, karena sikapmu itu aku mau berguru. Sekarang banyak guru, tapi bukan guru yang mampu mendidik muridnya menyelami dasar samudra, sebab para guru sekarang hanya mampu di permukaan laut. Jiwanya gelisah dengan urusan dunia, sehingga tidak konsentrasi dengan muridnya. Guru semacam ini tidak akan pernah bisa menenangkan muridnya kala dicekam kesunyian.

Sang guru, aku kini sedang belajar tetap tawadhu meski ada kesempatan takabur. Aku belajar qonaah meski ada peluang riya dan pamer. Aku belajar wirai meski ada waktu untuk pongah. Aku belajar menjaga muruah, meski ada saja kesempatan bikin diri ini hina. Semua ini aku lakukan tak lain untuk menjaga sikap tawazun (keseimbangan) dalam kehidupan. Itu yang kau ajarkan, dan sekarang aku meridukan pengajaran itu, sebab kini aku terhempas dalam jihad dan pertarungan hidup yang makin sengit. Salamku untukmu sang guru. (bumigaluh.blogspot.com)

Sabtu, 08 Mei 2010

Rasa Memiliki

Kau bersamaku tapi bukan milikku, dan yang kumiliki sebenarnya bukan milikku, sebab ada yang maha memiliki. Semua dalam genggaman sang pemilik sejati, Dia yang menggerakkan hati manusia agar punya rasa memiliki, namun tidak boleh menguasai. Maka apapun yang ada bersamaku siang dan malam sejatinya hanya titipan dan amanat dari Allah. Namanya juga amanah, suatu saat akan diambil dan kita harus mempertanggungjawabkannya. Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban, makanya kalau kita tidak bisa memanagemen rasa memiliki, sekejap kemudian kita akan menjadi Fir'aun, Tsalabah, dan atau Namrud. Terlalu berlebihan dalam rasa memiliki kekuasaan, Firaun lupa bahwa ada Tuhan yang berkuasa, terlalu merasa memiliki harta, Tsalabah merasa konglomerat sendirian, dan Raja Namrud merasa memiliki kekuatan lupa bahwa ada yang maha kuat.

Kisah orang-orang yang tidak bisa mengendalikan rasa memiliki itu tragis dan pahit. Orang ini dibelit rasa tamak, sombong, angkuh, egois, dan ujub. Pada saat bersamaan Allah pun mengintai manusia jenis ini lalu pada titik akhir mereka ditenggelamkan. Namun pengalaman pahit yang direkam dalam AL-Quran ini ternyata tidak pernah menyadarkan manusia. Setiap generasi selalu ada manusia jenis ini. Makanya kalau manusia jenis mengendalikan hajat hidup orang banyak, maka tunggulah kehancuran. Semua ada perhitungan dan catatan.

Dalam dunia kecil,sifat Firaun ini seringkali menjadi tabiat personal. Ada orang yang dengan rasa memilikinya demikian tinggi sampai lupa disana ada hak bani Adam, ada hak Allah dan hak makhluk. Segalanya dipusatkan dalam dirinya, bahkan nasib orang pun ditentukan dirinya. Bayangkan andaikan itu adalah diri kita, apa kata dunia? (bumigaluh.blogspot.com)

Kerinduanku

Hari ini aku begitu merindukanmu wahai sang guru? Saat itu aku tertatih-tatih menatap masa depan, kau rengkuh aku dalam kehangatan kasih sayangmu. Kau tenangkan aku saat degup jantung tak menentu. Kau usap kepala dengan untaian doa-doa, lalu kau bimbing aku mengenal bagaimana sebuah sistem kehidupan berputar. Kau ajari aku mengeja huruf hijaiyah, ya kehidupan itu persis dengan urutan huruf hijaiyah,dimulai dari huruf alif. Kesabaranmu mendidik agar aku memahami filosofi huruf hijaiyah lalu dirangkai dalam kalimat dan tanpa harokat, adalah sebuah kenangan indah. Apalagi saat aku bisa membaca huruf Arab gundul, aku bersukaria, ternyata disana ada banyak simbol kehidupan.

Kini puluhan tahun berlalu, tak terasa aku sudah tenggelam dalam lumpur kehidupan mengeja kembali huruf demi huruf kehidupan. Aku kembali ke titik nol ternyata kehidupan itu terangkai dalam huruf hijaiyah, aku sekarang sedang proses menuju huruf yang makin sulit di eja lagi, sebab huruf itu telah menjadi kalimat mustarok, satu kata tapi banyak makna. Satu sikap ternyata banyak makna, satu perbuatan ternyata banyak tafsir. Satu cinta ternyata sejuta rasa, satu kebencian ternyata beribu kedengkian, satu kebahagiaan ternyata seribu ungkapan. Begitu seterusnya hingga tak terbatas makna dan ungkapan, sebab semuanya mewakili perasaan manusia.

Wahai Sang Guru, pada saat seperti ini aku ingin sekali dekat dan mencium tanganmu, bersimpuh mengaji kembali seperti dahulu. Namun jarak yang demikian jauh membuatku harus bersabar bertemu denganmu. Aku berharap sang guru masih seperti dulu: tawadhu, qonaah, wirai, dan selalu menjaga muruah. Sebab disanalah ada kehormatan bagimu sang guru, karena sikapmu itu aku mau berguru. Sekarang banyak guru, tapi bukan guru yang mampu mendidik muridnya menyelami dasar samudra, sebab para guru sekarang hanya mampu di permukaan laut. Jiwanya gelisah dengan urusan dunia, sehingga tidak konsentrasi dengan muridnya. Guru semacam ini tidak akan pernah bisa menenangkan muridnya kala dicekam kesunyian.

Sang guru, aku kini sedang belajar tetap tawadhu meski ada kesempatan takabur. Aku belajar qonaah meski ada peluang riya dan pamer. Aku belajar wirai meski ada waktu untuk pongah. Aku belajar menjaga muruah, meski ada saja kesempatan bikin diri ini hina. Semua ini aku lakukan tak lain untuk menjaga sikap tawazun (keseimbangan) dalam kehidupan. Itu yang kau ajarkan, dan sekarang aku meridukan pengajaran itu, sebab kini aku terhempas dalam jihad dan pertarungan hidup yang makin sengit. Salamku untukmu sang guru.

Kerinduanku

Hari ini aku begitu merindukanmu wahai sang guru? Saat itu aku tertatih-tatih menatap masa depan, kau rengkuh aku dalam kehangatan kasih sayangmu. Kau tenangkan aku saat degup jantung tak menentu. Kau usap kepala dengan untaian doa-doa, lalu kau bimbing aku mengenal bagaimana sebuah sistem kehidupan berputar. Kau ajari aku mengeja huruf hijaiyah, ya kehidupan itu persis dengan urutan huruf hijaiyah,dimulai dari huruf alif. Kesabaranmu mendidik agar aku memahami filosofi huruf hijaiyah lalu dirangkai dalam kalimat dan tanpa harokat, adalah sebuah kenangan indah. Apalagi saat aku bisa membaca huruf Arab gundul, aku bersukaria, ternyata disana ada banyak simbol kehidupan.

Kini puluhan tahun berlalu, tak terasa aku sudah tenggelam dalam lumpur kehidupan mengeja kembali huruf demi huruf kehidupan. Aku kembali ke titik nol ternyata kehidupan itu terangkai dalam huruf hijaiyah, aku sekarang sedang proses menuju huruf yang makin sulit di eja lagi, sebab huruf itu telah menjadi kalimat mustarok, satu kata tapi banyak makna. Satu sikap ternyata banyak makna, satu perbuatan ternyata banyak tafsir. Satu cinta ternyata sejuta rasa, satu kebencian ternyata beribu kedengkian, satu kebahagiaan ternyata seribu ungkapan. Begitu seterusnya hingga tak terbatas makna dan ungkapan, sebab semuanya mewakili perasaan manusia.

Wahai Sang Guru, pada saat seperti ini aku ingin sekali dekat dan mencium tanganmu, bersimpuh mengaji kembali seperti dahulu. Namun jarak yang demikian jauh membuatku harus bersabar bertemu denganmu. Aku berharap sang guru masih seperti dulu: tawadhu, qonaah, wirai, dan selalu menjaga muruah. Sebab disanalah ada kehormatan bagimu sang guru, karena sikapmu itu aku mau berguru. Sekarang banyak guru, tapi bukan guru yang mampu mendidik muridnya menyelami dasar samudra, sebab para guru sekarang hanya mampu di permukaan laut. Jiwanya gelisah dengan urusan dunia, sehingga tidak konsentrasi dengan muridnya. Guru semacam ini tidak akan pernah bisa menenangkan muridnya kala dicekam kesunyian.

Sang guru, aku kini sedang belajar tetap tawadhu meski ada kesempatan takabur. Aku belajar qonaah meski ada peluang riya dan pamer. Aku belajar wirai meski ada waktu untuk pongah. Aku belajar menjaga muruah, meski ada saja kesempatan bikin diri ini hina. Semua ini aku lakukan tak lain untuk menjaga sikap tawazun (keseimbangan) dalam kehidupan. Itu yang kau ajarkan, dan sekarang aku meridukan pengajaran itu, sebab kini aku terhempas dalam jihad dan pertarungan hidup yang makin sengit. Salamku untukmu sang guru.

Minggu, 02 Mei 2010

myjurnal Ahmad Mukhlis: Dahsyatnya Takdir

myjurnal Ahmad Mukhlis: Dahsyatnya Takdir

Dahsyatnya Takdir

Perbincangan masalah takdir Allah sudah seumur dunia ini. Namun selama itu pula perbincangan tidak menghasilkan kesimpulan, namun secara garis besar takdir menjadi titik awal melangkah atau justru titik akhir manusia. Dalam konteks inilah lahir sejumlah aliran teologis yang semua berangkat dari perdebatan masalah takdir. Kaum yang menerima takdir tanpa upaya menghidupkan logika dikenal dengan nama kaum Jabariah. Mereka merespons takdir dengan apa adanya, sehingga semua yang dialami manusia diterima tanpa ada upaya ikhtiar yang maksimal.

Selanjutnya pihak yang menggunakan akal berpendapat bahwa takdir tidak berlaku secara kaku selama manusia masih punya kekuatan ikhtiar merubah dirinya. Dalam kaitan takdir itu ada peluang usaha dengan begitu, takdir masih bisa disiasati. Kaum ini dikenal sebagai aliran Qodariah yang belakangan berkembang menjadi aliran Mu'tazilah. Kaum inilah yang hingga sekarang bertahan hidup karena tradisi pemikiran mereka terus berlangsung. Dalam konteks modernisasi, tampaknya aliran ini yang bisa digunakan menjawab masa depan, sebab dengan kekuatan logika, kita bisa berijtihad.

Jumat, 26 Maret 2010

Syukur

Ilmu yang terbatas sangat berpengaruh dengan rasa syukur. Mereka yang ilmu dan pengalaman kurang senantiasa tidak bisa merasakan syukur sebab dalam dirinya selalu tertanam kekuarangan dan kegelisahan. Padahal kalau mau diteliti dan dicermati, ada banyak nikmat yang selalu diterima dari Allah. Namun karena sudah sangat terbiasa, nikmat itu serasa bukan nikmat.

Minggu, 24 Januari 2010

Salah dan Benar

Salah belum tentu sebuah kejahatan, namun setiap kejahatan pasti ada kesalahan. Demikian juga benar belum tentu baik, karena banyak kebenaran yang berdimensi keburukan. Salah- dalam pandangan umum- selalu dimaknai sebagai kejahatan meski kesalahan itu sangat manusiawi dan subyektif. Tapi kadang sebuah kejahatan tidak selalu dimaknai sebagai kejahatan bila pelakunya diposisikan sebagai pihak yang terzalimi. Orang semuanya benci dengan prilaku jahat, tapi kalau ada pelaku kejahatan dizalimi, disiksa dan dimaki, yang timbul kemudian adalah simpati. Malah kadang korban kejahatan menjadi kasihan dan melindungi sang penjahat.

Alkisah ada seorang yang disakiti dengan cara diguna-guna. Pelakunya seorang lelaki yang tentu saja sangat hebat dan punya jaringan. Korban lansung linglung dan setengah gila. Secara kasat mata yang dialami si korban adalah kejahatan, apalagi mengancam jiwa sang korban. Namun sang pelaku bukannya menjadi musuh bersama, dia justru mendapatkan simpati dari sang korban. Diam-diam si korban mencintainya, ia lupa kejahatan sang lelaki yang telah menggunainya. Usut punya usut cinta si korban itu tumbuh tatkala nama lelaki itu dibenci orang dan disudutkan. Sebaliknya ada kisah yang justru memprihatinkan. Orang baik malah jadi korban hanya gara-gara kebaikan orang tersebut sirna oleh silaunya si penjahat.

Belajar dari kisah diatas, ada baiknya jika kita dalam posisi benar dan baik, tidak ikut berkomentar apapun tentang kejahatan orang sebab bisa-bisa malah kita yang tertuduh. Benar-dalam pandangan umum- berarti tidak dalam posisi salah, namun ini belum tentu baik. Orang baik juga belum tentu benar jika berada dalam posisi dilematis dan kurang mendukung. Ada banyak orang yang merasa benar,tapi prilakunya tidak baik, maka kebenaran dia tidak bermakna apa-apa. Sebaliknya dia aslinya baik dan benar, tapi ia terperangkap dalam keputusan yang salah dan jahat, maka semuanya tidak berarti apa-apa.

Jumat, 15 Januari 2010

Menjadi Bijak

Orang bijak itu bukan orang yang tidak pernah salah. Tapi orang yang selalu belajar dari setiap kesalahan yang terjadi untuk dijadikan pelajaran ke depan. Dengan demikian prilakunya setiap hari selalu berubah menjadi baik dan mampu memahami setiap permasalahan dengan hati jernih. Hatinya mampu membaca setiap tanda-tanda tersembunyi di balik permasalahan yang muncul. Makanya pikirannya selalu terbuka menerima gagasan baru meski itu bertentangan dengan pandangannya.

Kemampuan untuk "memahami" adalah pintu masuk bagi mereka yang menempuh jalan menuju kajikan dan ke-bijak-an yang agung. Mereka yang hati dan pikirannya terbuka untuk memahami akan senantiasa berada dalam pencerahan. Inilah yang melatari orang bijak sanggup menerima dan menahan setiap permasalahan tanpa harus hancur dan larut dalam permasalahan. Ia penyelesai masalah bukan pembuat masalah, karena wawasan dan kemampuannya memahami telah menjadikan dirinya manusia mumpuni.

Untuk menjadi orang bijak, tentu saja tidak bisa sendirian, ia memerlukan proses panjang dan penuh liku. Dia harus terjun ke kancah dan konflik sehingga ia akan teruji mampukah menyelesaikan konflik secara dewasa. Disinilah kenapa banyak orang tak sanggup menjalani proses menjadi bijak, karena nafsu emosi sudah duluan muncul sebelum akal sehat dan ruhani bekerja.**