Rabu, 05 Agustus 2009

Menggugat Konsep Solehah

Banyak orang terutama laki-laki yang kurang memahami bahwa pasangan hidupnya itu akan menjadi apa sangat tergantung bagaimana sang lelaki memperlakukannya. Setidaknya itulah kesimpulan dari banyak kasus yang terjadi belakangan ini. Kebencian, kekecewaan, kecemburuan dan semua yang berbau negatif soal pasangan dimulai dari bagaimana sang nakhoda menjalankan biduk rumah tangganya. Makanya, syarat utama sang lelaki yang akan menjadi pemimpin di dalam rumah tangga adalah bagaimana ia bisa memainkan seni kepemimpinan yang indah agar tercipta keharmonisan. Masalahnya sekarang, seni kepemimpinan itu sulit diterapkan karena posisi lelaki dan perempuan saat ini setara dalam kedudukannya di rumah tangga. Bagaimana menyikapi keadaan ini ? Pertanyaan ini tentu saja sangat sulit dijawab.
Tapi sekadar berbagi pengalaman bolehlah. Kita ambil cuplikan kisah perjalanan seorang lelaki asal seberang yang biasa disapa Abang. Sang lelaki yang dikenal garang, angkuh dan sulit gaul ini memang pembawaannya temperamental. Semua orang sungkan dan segan untuk bermusuhan dengannya. Tapi dibalik itu semua, ia sebenarnya punya hati lembut setidaknya kalau melihat penderitaan sesama. Dengan pasangannya pun cenderung romantis dan memanjakan. Dalam memimpin biduk rumah tangganya ia menggabungkan seni keras dan kelembutan sekaligus. Sehingga pasangannya relatif nyaman dan aman, meski kadang tak tahan dengan kekerasan prinsipnya. Apa hasil yang dicapai sang Abang dengan seni memimpinnya itu ?
Pasangan hidup si Abang secara kasat mata memang nyaman dan bahagia. Namun lagi-lagi pasangannya sesekali memantik konflik karena kesetaraan jender tersebut. Definisi istri yang soleha pun menjadi kian kabur. Si Abang menjadi kehilangan pegangan tatkala sang istri mulai melancarkan serangan. Kepemimpinannya digugat sampai ke titik nadir. Apa yang bisa dilakukan si Abang? Ia baru sadar, ke-Solehan itu bukan paket dari Tuhan, melainkan hasil pendidikan dan perjalanan manusia dalam menemukan nilai universal yang difirmankan Tuhan. Menjadi solehah ternyata membutuhkan sejumlah pengorbanan, waktu, kesabaran dan keteladanan. Seolehah dengan demikian bukan sekadar nilai pribadi tapi nilai bersama karena ia hanya bisa tumbuh dalam lingkungan yang mendukung.
Si Abang itu bisa jadi Anda, atau mungkin Aku sendiri. Andaikan si Abang itu aku, yang pertama aku sadari adalah ternyata sekarang yang namanya lelaki dalam rumah tangga bukan satu-satunya sumber wibawa, fatwa dan keteladanan. Dalam konsepsi Al-Quran, lelaki itu pemimpin (Qowam) terhadap kaum perempuan, dalam realita lelaki hari ini tak lebih sekadar pelengkap. Kondisi ini diperparah oleh kualifikasi Qowam yang masih belum jelas rinciannya. Ini menambah masalah jadi rumit terutama ketika berhadapan dengan perempuan yang karena kekuatan jendernya melakukan perlawanan terhadap dominasi lelaki. Konsepsi solehah selama ini dipersepsikan dengan prilaku yang anggun, taat kepada suami, mau mendengar nasihat dan indah dipandang oleh lelaki yang punya kualitas Qowam. Ini semua hilang begitu kesetaraan dipahami dalam konteks melawan kepemimpinan lelaki yang menjadi pasangannya. Padahal dalam Islam, suami yang boleh tidak ditaati itu bilamana ia mengajak ke arah maksiat dan menentang Allah.
Entahlah zaman sedang berbalik. Kalau ada orang lelaki yang hidupnya benar, sesuai dengan syariat Allah dijadikan musuh bersama. Tapi kalau ia salah, menuruti jalan syetan asal sesuai dengan pemikiran orang umum diberi pernghargaan. Kalau ada suami yang taat beragama, istrinya dihasut dengan pemikiran anti agama. Ajaran Islam dihujat dan dimaki agar pasangan suami istri ragu dengan agamanya. Begitu seterusnya hingga rusaklah bangunan sakral rumah tangga Islami. Para muslimah yang solehah, taat kepada suami ditakut-takuti dengan dampak poligami yang menyeramkan. Padahal justru yang menyeramkan adalah dampak zina bebas yang telah melahirkan penyakit HIV/AIDS.
Muslimah solehah saat ini akan diam seribu bahasa melihat maraknya seks bebas dimana-mana. Seolah –olah perbuatan seks bebas itu tidak berdampak pada murka Allah. Padahal dalam budaya seks bebas itu ada anak-anak kita yang harus dilindungi. Ada masyarakat kita yang harus dijauhkan dari prilaku yang merusak tersebut. Tapi coba kita lemparkan wacana poligami, muslimah solehah versi modern akan berteriak lantang menentang keras seraya menyebutkan dampaknya. Ribuan buku ditulis yang semuanya menyudutkan poligami. Jumlah bukunya jauh lebih banyak daripada buku yang membahas dalam seks bebas.
Makanya, menjadi solehah pada abad pertengahan tercermin dalam kita “Ngudulujain” yang menceritakan bagaimana suami istri saling mencintai dibawah naungan ridho Allah. Namun solehah saat ini dialihkan kepada bagaimana pasangan suami istri saling memusuhi dibawah komando Syetan. Jadi boro-boro mengejar keluarga sakinah, mawadah dan rahmah, sekadar hidup nyaman pun sulit. Kita dibuat saling curiga dan tidak percaya dengan pasangan. Kalau sudah begini, siapa yang akan bertanggungjawab? ***

Ketika Bom Bertasbih

Bom ditangan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah merupakan ungkapan bertasbih kepada Allah. Pada dimensi ini bom ditempatkan sebagai alat melindungi diri dan agama Allah yang diinjak orang-orang kafir. Sedangkan jika bom ditangan kaum kafir jahat yang menebar maut, bom menjadi monster yang akan mencabut nyawa secara paksa. Maka memaknai kejahatan sebuah bom harus diletakkan dalam kosntruksi siapa subyek yang melakukan pengeboman. Malah orang kafir bisa menjadikan bom sebagai alibi untuk mengkambing hitamkan kaum penyembah Allah. Serangan 11 September merupakan cikal bakal makar kaum kafir untuk menuding umat Islam. Dengan menempatkan Osama bin Laden sebagai otak peledakan WTC, itu sama artinya dengan mencitrakan Islam pelaku teroris.
Tidak setiap kekerasan itu berdimensi kejahatan, meski secara umum setiap kejahatan mengandung kekerasan. Demikian pula kelembutan tak selamanya berdimensi kebajikan, sebab kejahatan bisa bersembunyi dalam kelembutan.
Logika ini pun berlaku dalam kasus peledakan bom, yang tentu saja sarat makna, sebab dibalik aksi peledakan bom itu terkandung ribuan kepentingan yang tersembunyi. Maknanya tentu saja hanya diketahui oleh sang pelaku, sedangkan yang menonton dan menjadi korban hanya bisa menafsirkan. Namun diatas segalanya yang terhebat adalah “otak atau dalang” yang merekayasa dan menyusun skenario peledakan bom yang memanfaatkan pemain-pemain lugu tapi bernyali besar. Sebab, tidak semua aksi teror bom itu murni kepentingan sang operator, ada juga disana kepentingan sponsor. Bahkan aparat keamanan yang menangkap para teroris pun hanya menjalankan perintah sponsor dari bangsa asing. Demi sponsor itulah sebenarnya kita kemudian menggadaikan kedaulatan bangsa. Kita hanya memenuhi pesanan sponsor supaya dipuji dan kemudian diberi fasilitas.
Mengapa semua ini bisa terjadi ? Kita memang bangsa yang senang membeo, gampang kagum dengan bangsa asing. Semua yang berbau asing, apalagi dari negeri Amerika, pasti ditelan mentah-mentah termasuk salah satunya adalah cara berpikir Amerika. Kita tidak punya kemandirian ekonomi dan politik. Yang mengenaskan lagi adalah kita tidak punya kebebasan berpikir menurut tradisi Indonesia. Sehingga semua produk pemikiran khas Amerika dipakai untuk memandang dan menganalisis situasi Indonesia. Yang paling mutakhir masalah terorisme. Kosakata teror dan teroris itu produk pemikiran Amerika yang lahir pasca serangan 11 September. Padahal sekeras apapun aksi kejahatan di Indonesia tidak pernah dijerat dengan undang-undang terorisme.Tapi sejak Amerika mendesakkan wacana terorisme kita pun membeo dan membebek dengan menerbitkan undang-undang terorisme dan membentuk Densus 88 Anti Teror yang merupakan “pasukan pemburu teroris” yang dilatih dan didanai Amerika. ****

Senin, 03 Agustus 2009

Nggak Enak Jadi Tertuduh

Andiakan aku bukan teroris kemudian orang menuduhku teroris, itu adalah fitnah dan teror. Tapi kalau aku seorang teroris bangga dengan pemberitaan media massa yang semua menyorot bekas peledakan. Yang menyakitkan, kegiatan pengebomanku ditunggani dengan kepentingan orang lain yang tidak ada kaitan dengan misi pengeboman. Mereka mendompleng dalam aktifitas jihad bunuh diri, padahal sejatinya mereka hanya mengambil manfaat. Begitulah rintihan hati seorang teroris yang diwawancara secara imajiner. Selebihnya terserah anda bagaimana menafsirkan sebuah misi peledakan bom. ***