Rabu, 29 Desember 2010

Cinta Yang Tulus

Siapakah yang tahu kedalaman hati manusia? Ternyata tidak ada yang bisa mengukur , apalagi mengukur kedalaman cinta. Dua insan yang saling mencintai dan hidup dalam suasana rumah tangga baru merasakan cinta pasangannya setelah salah satu pasangannya meninggal dunia. Ada sebuah kisah nyata yang dialami seorang ibu, ia mengalami penyesalan sepanjang hayatnya, karena terlambat memahami suaminya. Si ibu ini punya suami yang pendiam tapi sibuk dalam berbisnis. Selama berumahtangga, si ibu tak kekurangan materi dan dikaruniai anak soleh. Namun karena suaminya sibuk, ibu ini marah-marah karena banyak pekerjaan rumah yang tidak tertangani. Setiap suaminya datang ia marah dan menyalahkan, bahkan curiga suaminya punya selingkuhan. Pertengkaran pun sulit terelakkan, karena sang ibu ini tidak mau mendengar alasan suaminya. Begitu hingga bertahun-tahun lamanya. sampai suatu ketika sang suami jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.

Dalam keadaan sedih dan berduka, si ibu membereskan meja kerja suaminya. Tanpa sengaja si ibu menemukan selembar kertas surat yang ditulis suaminya sebelum meninggal dunia. Si ibu membaca dengan cermat surat itu. "Ibu, maafkan aku yang terlalu sibuk bisnis sehingga tidak bisa membantumu dan memperhatikanmu. Maafkan aku yang belum bisa mendidik anak-anak dengan baik. Sebenarnya semua ini aku lakukan karena cintaku yang besar dan mendalam kepada ibu dan anak-anak, makanya aku bekerja penuh waktu dan tak peduli dengan kesehatanku. Aku bekerja keras untuk menyiapkan masa depan anak-anak agar mereka bisa hidup layak di kemudian hari. Apa yang aku rintis ini memang belum besar, namun aku berharap kelak anak-anak akan membesarkan bisnis ini. Dari sekadar perusahaan rumahan menjadi perusahaan publik dengan atas nama anak kita. Semua biaya pendidikan anak-anak sudah aku siapkan di rekening, ambillah saat mereka memerlukannya,". Wassalam.

Sang ibu terperanjat membaca surat itu. Selama ini ia belum mengurus suami dengan sepenuh hati, malah sering mengajaknya bertengkar. Ia baru sadar betapa suaminya mencintainya, karena suami ini bertanggungjawab terhadap keluarganya. Ibu ini pun menangis sejadi-jadinya karena telah menyia-nyiakan suami yang telah mengorbankan dirinya untuk masa depan keluarga. Nasi sudah menjadi bubur, semua terlambat karena "kedalaman" cinta sang suami itu telah disalahpahami sang ibu. Si ibu ini sudah kehilangan kesempatan berbuat baik karena suami yang telah berkorban itu telah diabaikan kebaikannya. Haruskah kisah ini menjadi keseharian kita?

Di sebuah tempat yang lain, seorang suami yang pendiam namun membuktikan cintanya lewat sikap dan tanggungjawab juga mengalami kisah tragis. Sang istri yang awal pernikahan begitu mencintai hingga membuahkan keturunan, di tengah jalan menjalin hubungan selingkuh dengan pria lain. Alasan si istri sepele bahwa suaminya sudah tidak perhatian dan tidak romantis dibanding selingkuhannya. Dan tentu banyak lagi alasan untuk membenarkan perselingkuhan itu dan memojokkan si suami. Sampai suatu ketika sang istri memilih bercerai dan akan hidup bersama selingkuhannya.Haruskah kisah istri ini juga menjadi karakter keseharian kita?

Dua kisah diatas tidak seharusnya menjadi karakter kita, sebab memang tidak ada yang bisa mengukur kedalaman cinta manusia kecuali hanya melihat gejalanya saja. Makanya orang akan menilai dan mengukur kedalaman itu dari sikap, tutur kata dan pengorbanan seseorang. Mereka yang tulus dan tanpa pamrih akan membahasakan sikap, tutur kata dan pengorbanannya dalam sunyi dan diam tapi dampaknya sangat terasa. Cintanya tidak dilisankan agar didengar pasangannya, namun kalau dia tidak ada sang pasangan akan merasa kehilangan. Orang dengan cinta berbalut diam ini sangat dirindukan kala jauh. Namun saat dekat dianggap tak bermakna bahkan dianggap cuek dan tidak mencintai pasangannya. Makanya dia sering dijadikan sasaran amarah hanya karena cintanya yang diam.

Sebaliknya orang yang cintanya berbalut pamrih dan kepentingan nafsu, akan membahasakan sikap, tutur kata dan pengorbanan dalam verbalisme. Sikapnya meyakinkan dan lebih persuasif seolah dialah yang paling perhatian. Tutur katanya romantis dan bombastis agar dipercaya bahwa dialah yang paling mencintainya. Dialah yang bisa membahagiakan pasangan. Pun dalam pengorbanan ia pamerkan agar memukau pasangannya. Dia baru berkorban sedikit tapi sudah minta imbalan yang lebih besar dengan atas nama cinta. Dia baru berkorban dengan cincin syubhat yang harganya murah sudah meminta cinta sang perempuan. Semua diartikan sebagai tanda cinta dan kasih sayang. Padahal semua itu ada pamrih karena dia ingin sesuatu. Ini tipe lelaki yang disenangi perempuan makanya suami yang pendiam pasti akan masuk kotak meski sudah berkorban sepenuh hati.

Dalam dua karakter yang berbeda ini, manakah yang paling dalam cintanya? Si pendiam atau si manusia pamer yang akan dijadikan pendamping hidup? Pilihan ada dalam hati masing-masing. **