Sabtu, 08 Mei 2010

Rasa Memiliki

Kau bersamaku tapi bukan milikku, dan yang kumiliki sebenarnya bukan milikku, sebab ada yang maha memiliki. Semua dalam genggaman sang pemilik sejati, Dia yang menggerakkan hati manusia agar punya rasa memiliki, namun tidak boleh menguasai. Maka apapun yang ada bersamaku siang dan malam sejatinya hanya titipan dan amanat dari Allah. Namanya juga amanah, suatu saat akan diambil dan kita harus mempertanggungjawabkannya. Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban, makanya kalau kita tidak bisa memanagemen rasa memiliki, sekejap kemudian kita akan menjadi Fir'aun, Tsalabah, dan atau Namrud. Terlalu berlebihan dalam rasa memiliki kekuasaan, Firaun lupa bahwa ada Tuhan yang berkuasa, terlalu merasa memiliki harta, Tsalabah merasa konglomerat sendirian, dan Raja Namrud merasa memiliki kekuatan lupa bahwa ada yang maha kuat.

Kisah orang-orang yang tidak bisa mengendalikan rasa memiliki itu tragis dan pahit. Orang ini dibelit rasa tamak, sombong, angkuh, egois, dan ujub. Pada saat bersamaan Allah pun mengintai manusia jenis ini lalu pada titik akhir mereka ditenggelamkan. Namun pengalaman pahit yang direkam dalam AL-Quran ini ternyata tidak pernah menyadarkan manusia. Setiap generasi selalu ada manusia jenis ini. Makanya kalau manusia jenis mengendalikan hajat hidup orang banyak, maka tunggulah kehancuran. Semua ada perhitungan dan catatan.

Dalam dunia kecil,sifat Firaun ini seringkali menjadi tabiat personal. Ada orang yang dengan rasa memilikinya demikian tinggi sampai lupa disana ada hak bani Adam, ada hak Allah dan hak makhluk. Segalanya dipusatkan dalam dirinya, bahkan nasib orang pun ditentukan dirinya. Bayangkan andaikan itu adalah diri kita, apa kata dunia? (bumigaluh.blogspot.com)

Kerinduanku

Hari ini aku begitu merindukanmu wahai sang guru? Saat itu aku tertatih-tatih menatap masa depan, kau rengkuh aku dalam kehangatan kasih sayangmu. Kau tenangkan aku saat degup jantung tak menentu. Kau usap kepala dengan untaian doa-doa, lalu kau bimbing aku mengenal bagaimana sebuah sistem kehidupan berputar. Kau ajari aku mengeja huruf hijaiyah, ya kehidupan itu persis dengan urutan huruf hijaiyah,dimulai dari huruf alif. Kesabaranmu mendidik agar aku memahami filosofi huruf hijaiyah lalu dirangkai dalam kalimat dan tanpa harokat, adalah sebuah kenangan indah. Apalagi saat aku bisa membaca huruf Arab gundul, aku bersukaria, ternyata disana ada banyak simbol kehidupan.

Kini puluhan tahun berlalu, tak terasa aku sudah tenggelam dalam lumpur kehidupan mengeja kembali huruf demi huruf kehidupan. Aku kembali ke titik nol ternyata kehidupan itu terangkai dalam huruf hijaiyah, aku sekarang sedang proses menuju huruf yang makin sulit di eja lagi, sebab huruf itu telah menjadi kalimat mustarok, satu kata tapi banyak makna. Satu sikap ternyata banyak makna, satu perbuatan ternyata banyak tafsir. Satu cinta ternyata sejuta rasa, satu kebencian ternyata beribu kedengkian, satu kebahagiaan ternyata seribu ungkapan. Begitu seterusnya hingga tak terbatas makna dan ungkapan, sebab semuanya mewakili perasaan manusia.

Wahai Sang Guru, pada saat seperti ini aku ingin sekali dekat dan mencium tanganmu, bersimpuh mengaji kembali seperti dahulu. Namun jarak yang demikian jauh membuatku harus bersabar bertemu denganmu. Aku berharap sang guru masih seperti dulu: tawadhu, qonaah, wirai, dan selalu menjaga muruah. Sebab disanalah ada kehormatan bagimu sang guru, karena sikapmu itu aku mau berguru. Sekarang banyak guru, tapi bukan guru yang mampu mendidik muridnya menyelami dasar samudra, sebab para guru sekarang hanya mampu di permukaan laut. Jiwanya gelisah dengan urusan dunia, sehingga tidak konsentrasi dengan muridnya. Guru semacam ini tidak akan pernah bisa menenangkan muridnya kala dicekam kesunyian.

Sang guru, aku kini sedang belajar tetap tawadhu meski ada kesempatan takabur. Aku belajar qonaah meski ada peluang riya dan pamer. Aku belajar wirai meski ada waktu untuk pongah. Aku belajar menjaga muruah, meski ada saja kesempatan bikin diri ini hina. Semua ini aku lakukan tak lain untuk menjaga sikap tawazun (keseimbangan) dalam kehidupan. Itu yang kau ajarkan, dan sekarang aku meridukan pengajaran itu, sebab kini aku terhempas dalam jihad dan pertarungan hidup yang makin sengit. Salamku untukmu sang guru.

Kerinduanku

Hari ini aku begitu merindukanmu wahai sang guru? Saat itu aku tertatih-tatih menatap masa depan, kau rengkuh aku dalam kehangatan kasih sayangmu. Kau tenangkan aku saat degup jantung tak menentu. Kau usap kepala dengan untaian doa-doa, lalu kau bimbing aku mengenal bagaimana sebuah sistem kehidupan berputar. Kau ajari aku mengeja huruf hijaiyah, ya kehidupan itu persis dengan urutan huruf hijaiyah,dimulai dari huruf alif. Kesabaranmu mendidik agar aku memahami filosofi huruf hijaiyah lalu dirangkai dalam kalimat dan tanpa harokat, adalah sebuah kenangan indah. Apalagi saat aku bisa membaca huruf Arab gundul, aku bersukaria, ternyata disana ada banyak simbol kehidupan.

Kini puluhan tahun berlalu, tak terasa aku sudah tenggelam dalam lumpur kehidupan mengeja kembali huruf demi huruf kehidupan. Aku kembali ke titik nol ternyata kehidupan itu terangkai dalam huruf hijaiyah, aku sekarang sedang proses menuju huruf yang makin sulit di eja lagi, sebab huruf itu telah menjadi kalimat mustarok, satu kata tapi banyak makna. Satu sikap ternyata banyak makna, satu perbuatan ternyata banyak tafsir. Satu cinta ternyata sejuta rasa, satu kebencian ternyata beribu kedengkian, satu kebahagiaan ternyata seribu ungkapan. Begitu seterusnya hingga tak terbatas makna dan ungkapan, sebab semuanya mewakili perasaan manusia.

Wahai Sang Guru, pada saat seperti ini aku ingin sekali dekat dan mencium tanganmu, bersimpuh mengaji kembali seperti dahulu. Namun jarak yang demikian jauh membuatku harus bersabar bertemu denganmu. Aku berharap sang guru masih seperti dulu: tawadhu, qonaah, wirai, dan selalu menjaga muruah. Sebab disanalah ada kehormatan bagimu sang guru, karena sikapmu itu aku mau berguru. Sekarang banyak guru, tapi bukan guru yang mampu mendidik muridnya menyelami dasar samudra, sebab para guru sekarang hanya mampu di permukaan laut. Jiwanya gelisah dengan urusan dunia, sehingga tidak konsentrasi dengan muridnya. Guru semacam ini tidak akan pernah bisa menenangkan muridnya kala dicekam kesunyian.

Sang guru, aku kini sedang belajar tetap tawadhu meski ada kesempatan takabur. Aku belajar qonaah meski ada peluang riya dan pamer. Aku belajar wirai meski ada waktu untuk pongah. Aku belajar menjaga muruah, meski ada saja kesempatan bikin diri ini hina. Semua ini aku lakukan tak lain untuk menjaga sikap tawazun (keseimbangan) dalam kehidupan. Itu yang kau ajarkan, dan sekarang aku meridukan pengajaran itu, sebab kini aku terhempas dalam jihad dan pertarungan hidup yang makin sengit. Salamku untukmu sang guru.

Minggu, 02 Mei 2010

myjurnal Ahmad Mukhlis: Dahsyatnya Takdir

myjurnal Ahmad Mukhlis: Dahsyatnya Takdir

Dahsyatnya Takdir

Perbincangan masalah takdir Allah sudah seumur dunia ini. Namun selama itu pula perbincangan tidak menghasilkan kesimpulan, namun secara garis besar takdir menjadi titik awal melangkah atau justru titik akhir manusia. Dalam konteks inilah lahir sejumlah aliran teologis yang semua berangkat dari perdebatan masalah takdir. Kaum yang menerima takdir tanpa upaya menghidupkan logika dikenal dengan nama kaum Jabariah. Mereka merespons takdir dengan apa adanya, sehingga semua yang dialami manusia diterima tanpa ada upaya ikhtiar yang maksimal.

Selanjutnya pihak yang menggunakan akal berpendapat bahwa takdir tidak berlaku secara kaku selama manusia masih punya kekuatan ikhtiar merubah dirinya. Dalam kaitan takdir itu ada peluang usaha dengan begitu, takdir masih bisa disiasati. Kaum ini dikenal sebagai aliran Qodariah yang belakangan berkembang menjadi aliran Mu'tazilah. Kaum inilah yang hingga sekarang bertahan hidup karena tradisi pemikiran mereka terus berlangsung. Dalam konteks modernisasi, tampaknya aliran ini yang bisa digunakan menjawab masa depan, sebab dengan kekuatan logika, kita bisa berijtihad.