Sabtu, 04 April 2009

Rakyat Menanti Gebrakan Hebring

Pergantian bupati di Ciamis sudah puluhan kali. Namun setiap periode kepemimpinan tidak banyak yang berubah. Ciamis tetap menjadi kota mati yang tak mampu mensejahterakan rakyatnya meski kekayaan sumber daya alam Ciamis melimpah. Setiap bupati yang berkuasa tidak berani membuat terobosan yang mengejutkan rakyat. Seolah setelah duduk dikursi singgasana sudah otomatis menjadi Prabu, sehingga rakyat pun nasibnya ditentukan bagaimana wangsit sang Prabu. Wajah tata kota yang kita nikmati sekarang adalah karya kebijakan Bupati Taufik. Tapi setelah Bupati Taufik lengser, adakah bupati yang seberani Bupati Taufik ? Tidak ada. Bupati berikutnya memilih mencari aman dan adem ayem tanpa gejolak. Kalaupun ada pembangunan itupun sekadar melaksanakan agenda rutin.
Kepemimpinan Hebring kini akan diuji oleh rakyat yang telah memberikan mandatnya pada pilkada 2008 lalu. Semua mata akan menyorot dengan tajam apakah lima tahun mendatang ada perubahan yang signifikan. Mereka akan terus mempertanyakan komitmen janji Hebring sewaktu kampanye apakah ditepati atau tidak. Dan tentu saja yang paling ekstrim adalah rakyat akan mempertanyakan gebrakan apa yang spektakuler dari kepemimpinan Hebring. Pasalnya semua orang juga tahu kepemimpinan H.Engkon Komara periode lalu selembut sutra dan sedingin salju. Rakyat pun terninabobokkan dan tidak kritis karena sudah tersihir oleh retorika politik dan senyum simpatik sang bupati. Nah, saatnya kini ia membuktikan diri bahwa dengan label Hebring akan ada perubahan gaya kepemimpinan.
Perubahan gaya kepemimpinan menjadi kata kunci, sebab setumpuk pekerjaan rumah telah menanti Hebring. Yang paling mendesak adalah soal pemisahan Ciamis Selatan, yang selama ini menjadi “jantung” PAD. Kalau Pangandaran menjadi kabupaten sendiri jelas sumber pendapatan Ciamis akan menyusut tajam. Ini akan berpengaruh terhadap kebijakan publik ke depan. Maka Hebring pada awal pemerintahannya kalau tidak menyiapkan kebijakan baru membangun Ciamis Utara, mungkin saja Ciamis akan menjadi terhapus dari peta. Hebring semestinya paham bahwa munculnya gagasan Ciamis selatan berpisah sejatinya sebuah otokritik dan gugatan kepada H.Engkon Komara agar selatan diperhatikan.
Namun nasi sudah menjadi bubur. Isu Ciamis Selatan telah menggelinding ke senayan. Sementara Ciamis sebagai kabupaten induk belum menyiapkan sejumlah antisipasi. Semua hanya diam dan tak peduli padahal bagi penulis yang warga biasa, pemisahan selatan akan membawa dampak yang dramatis bagi warga Ciamis lainnya. Tapi melihat respon pemerintahan yang sedingin salju, ini tentu saja mencemaskan apalagi semua kajian kelayakan Ciamis Selatan hanya menguntungkan orang selatan. Kenapa kita tidak berpikir yang integral dan komprehensif? Tapi biarlah semua sudah terjadi kini tinggal bagaimana masyarakat Ciamis terus mengawal dan mengkritisi kebijakan Hebring. Jangan biarkan Hebring dipandu suara-suara anti perubahan dari orang-orang yang hanya jadi benalu dan serangga pembangunan.Sudah lelah mendengarkan cerita Ciamis dijadikan bulan-bulanan kasus korupsi dan penyimpangan.
Diluar masalah Ciamis Selatan, masyarakat juga menanti gebrakan Hebring dalam penyediaan lapangan kerja baru. Bagaimana masyarakat Ciamis dinyatakan sejahtera jika kebutuhan dasar mereka tak penuhi. Dan bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan dasar, kalau sumber penghidupan di Ciamis nyaris tidak tersedia. Ciamis seolah dijauhi oleh kalangan investor karena pemerintah dan masyarakat kurang ramah terhadap investor. Padahal sedikit atau banyak kehadiran investor akan mendongkrak pembukaan lapangan kerja baru. Kalau Hebring tidak berani membuka kran investasi, ya bisa dibayangkan jumlah angka pengangguran akan terus membengkak. Ini akan menimbulkan dampak sosial yang mencemaskan.
Berikutnya adalah bagaimana Hebring memperbaiki kualitas pelayanan publik di semua dinas-dinas. Setidaknya Hebring harus berani membersihkan biaya-biaya siluman dalam setiap proyek yang dikelola dinas. Meskipun ini agak sulit sebab disana ada upeti yang mengalir ke semua jaringan kekuasaan. Beranikah Hebring? Kita nantikan saja nanti selama lima tahun perjalanan. Yang pasti pelantikan pasangan Hebring bukan sekadar peristiwa seremonial biasa. Ini adalah peristiwa luar biasa dan penuh makna yang wajib kita beri catatan agar Hebring tetap istiqomah membawa amanah dan mandat rakyat. Meski diakui semua orang mafhum bahwa amanah yang diperoleh Hebring tidak gratis tapi ada harga politik yang harus dibayar. Miliaran rupiah telah dikeluarkan untuk meraih simpati rakyat, sehingga selayaknya kita sebagai rakyat memang tidak perlu banyak berharap. Semoga kali ini bukan periode untuk mengembalikan modal dan menabung bagi Hebring yang sudah ditelan usia senja.***

*Penulis, staf pengajar dan mahasiswa Pascasarjana Magister Sains Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Senin, 30 Maret 2009

pemilu untuk siapa sih?

Pemilu, begitu bangsa Indonesia menyebut hajat demokrasi dalam memilih calon pemimpinnya. Namun sebenarnya untuk siapakah pemilu tersebut didedikasikan ? Adakah korelasi langsung antara pemilu dengan perubahan nasib seseorang? Apakah mereka yang menyalurkan hak pilihnya ada garansi akan diperhatikan oleh mereka yang akan duduk menjadi wakil rakyat? Atau apakah ada jaminan para wakil rakyat terpilih akan menepati janjinya? Semua pertanyaan ini bergelayutan di benak semua orang yang punya hak pilih. Namun akhirnya pertanyaan itupun akan sulit dijawab sebab yang mengurusi “pencalegan” adalah partai politik. Semua orang juga tahu dan mafhum bahwa partai politik dalam menentukan siapa yang berhak menjadi caleg sama sekali tidak melakukan seleksi ketat. Bahkan kriteria dalam rekrutmen caleg sendiri tidak jelas, sehingga kita akhirnya memilih kucing dalam karung. Kita sulit sekali menentukan pilihan karena memang tidak punya panduan dan referensi informasi tentang jejak rekam caleg.
Semua orang yang punya hak pilih pasti kini dilanda kebingungan siapa yang harus dicontreng. Pasalnya semua figur caleg dari semua tingkatan selain tidak dikenal secara dekat juga tidak ada media lain yang menjembatani rasa ingin tahu masyarakat. Banyak tim sukses dan makelar politik, tapi semuanya juga tidak memberikan informasi yang akurat. Yang ada hanya proses pembodohan politik sebab makelar politik kemudian mengajari politik uang. Masyarakat tidak diajari bagaimana menyalurkan partisipasi politik dalam pemilu. Maka bisa dimengerti bahwa sebenarnya pemilu ini didesain bukan untuk rakyat, tapi didedikasikan untuk mereka yang haus kekuasaan. Partai politik bukan wadah berkumpulnya masyarakat yang ingin perubahan, melainkan wadah orang-orang yang haus kekuasaan.
Dengan kondisi semacam ini, kita tidak punya pilihan lain kecuali menyeleksi dan memilih yang terbaik di antara yang buruk atau yang sedikit buruknya. Dari sekian ribu caleg pastilah ada yang bersih dan siap mengabdi kepada masyarakat yang memilihnya. Karena itu kita harus mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang siapa dan bagaimana jejak rekam sang caleg lewat berbagai sumber yang bisa dipercaya dan akurat. Jangan karena uang kita jadi tidak kritis dan tutup mata sehingga kita menyesal dibelakang hari. Pengalaman masa lalu yang demikian kelam rasanya sudah cukup untuk dijadikan pelajaran berharga. Cobalah hitung berapa uang negara yang diembat oleh wakil rakyat dan pejabat birokrat yang berkolaborasi dengan pengusaha bermata sipit?
Dua ratus konglomerat yang berjaya membangun kerajaan bisnis di Indonesia didominasi kaum bermata sipit keturunan Tionghoa. Sebenarnya merekalah yang menikmati kebijakan politik selama 32 tahun dan hingga kini masih menancapkan taringnya dalam ranah politik untuk mengamankan aset ekonominya. Merekalah yang menjadi cukong-cukong politik dengan kekayaannnya. Maka boleh jadi di antara seratus caleg yang akan manggung, pasti ada caleg yang mengabdi kepada kepentingan cukong China. Jadi untuk siapakah pemilu ini? Jawabannya: ada yang untuk bandar cukong, bandar sabu, bandar ilegal logging, bandar politik, pemodal kapitalis dan yang internasional adalah untuk Amerika dan Yahudi yang menanamkan modalnya di semua bidang kehidupan. ***

**Created by Ahmad Mukhlis @lRifqi, mahasiswa Pascasarjana Magister Sains Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah dan Pemimpin Redaksi Koran IMSA Ciamis Jawa Barat.