Kamis, 27 Mei 2010

Kerinduanku

Hari ini aku begitu merindukanmu wahai sang guru? Saat itu aku tertatih-tatih menatap masa depan, kau rengkuh aku dalam kehangatan kasih sayangmu. Kau tenangkan aku saat degup jantung tak menentu. Kau usap kepala dengan untaian doa-doa, lalu kau bimbing aku mengenal bagaimana sebuah sistem kehidupan berputar. Kau ajari aku mengeja huruf hijaiyah, ya kehidupan itu persis dengan urutan huruf hijaiyah,dimulai dari huruf alif. Kesabaranmu mendidik agar aku memahami filosofi huruf hijaiyah lalu dirangkai dalam kalimat dan tanpa harokat, adalah sebuah kenangan indah. Apalagi saat aku bisa membaca huruf Arab gundul, aku bersukaria, ternyata disana ada banyak simbol kehidupan.

Kini puluhan tahun berlalu, tak terasa aku sudah tenggelam dalam lumpur kehidupan mengeja kembali huruf demi huruf kehidupan. Aku kembali ke titik nol ternyata kehidupan itu terangkai dalam huruf hijaiyah, aku sekarang sedang proses menuju huruf yang makin sulit di eja lagi, sebab huruf itu telah menjadi kalimat mustarok, satu kata tapi banyak makna. Satu sikap ternyata banyak makna, satu perbuatan ternyata banyak tafsir. Satu cinta ternyata sejuta rasa, satu kebencian ternyata beribu kedengkian, satu kebahagiaan ternyata seribu ungkapan. Begitu seterusnya hingga tak terbatas makna dan ungkapan, sebab semuanya mewakili perasaan manusia.

Wahai Sang Guru, pada saat seperti ini aku ingin sekali dekat dan mencium tanganmu, bersimpuh mengaji kembali seperti dahulu. Namun jarak yang demikian jauh membuatku harus bersabar bertemu denganmu. Aku berharap sang guru masih seperti dulu: tawadhu, qonaah, wirai, dan selalu menjaga muruah. Sebab disanalah ada kehormatan bagimu sang guru, karena sikapmu itu aku mau berguru. Sekarang banyak guru, tapi bukan guru yang mampu mendidik muridnya menyelami dasar samudra, sebab para guru sekarang hanya mampu di permukaan laut. Jiwanya gelisah dengan urusan dunia, sehingga tidak konsentrasi dengan muridnya. Guru semacam ini tidak akan pernah bisa menenangkan muridnya kala dicekam kesunyian.

Sang guru, aku kini sedang belajar tetap tawadhu meski ada kesempatan takabur. Aku belajar qonaah meski ada peluang riya dan pamer. Aku belajar wirai meski ada waktu untuk pongah. Aku belajar menjaga muruah, meski ada saja kesempatan bikin diri ini hina. Semua ini aku lakukan tak lain untuk menjaga sikap tawazun (keseimbangan) dalam kehidupan. Itu yang kau ajarkan, dan sekarang aku meridukan pengajaran itu, sebab kini aku terhempas dalam jihad dan pertarungan hidup yang makin sengit. Salamku untukmu sang guru. (bumigaluh.blogspot.com)