Selasa, 06 Juli 2010

Hidup Itu Memilih

Sesungguhnya Allah memberikan kebebasan penuh kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Bagi yang ingin hidup di bawah ridho Allah, dia akan menempuh jalan kebajikan.Sebaliknya bagi yang memilih hidup dengan hawa nafsunya, disana ada jalan menuju neraka. Persoalannya, ada kalanya kita tak punya kesempatan memilih apalagi menentukan pilihan. Kadang hatinya ingin baik, namun situasi mendorong untuk jahat. Kadang prilakunya baik, tapi terjebak dalam keburukan dan kejahatan. Ada banyak wasilah yang mendorong manusia terjebak dalam keburukan atau kebajikan.

Jihad itu ada disini, yakni di antara banyak pilihan yang semuanya bukan pilihan, tapi sudah terpilih dalam keadaan yang bukan pilihan. Misalnya, kita memilih menjadi guru, namun takdir mendorongnya menjadi pedagang. Atau kadang pilihan sulit yang mencemaskan karena mengandung bahaya yang sangat besar. Bagaimanakah manajemen konflik dengan hidup yang tak sempat melakukan sebuah pilihan itu? Disinilah kecerdasan dan kreatifitas sangat diperlukan untuk mensiasati keadaan yang serba tidak menguntungkan.

Semua orang ingin hidup enak, nyaman dan sesuai dengan pikirannya. Namun kenyataan membuktikan, semua yang dialami sama sekali berbeda, malah kadang bertentangan. Kalau kita yang berada pada situasi yang menerima takdir yang tidak menguntungkan, apa yang bisa kita lakukan? Sebagai hamba Allah, pertama kita harus berprasangka baik kepada Allah, barangkali di balik cobaan dan ujian yang tidak mengenakkan itu ada hikmah kebaikan. Kedua, ikhlas menerima yang bertentangan dengan hati agar kuat menerima cobaan. Dengan ikhlas, hati terasa ringan menjalani takdir nan pahit sekalipun.

Akhirnya semua kembali kepada diri kita, kuat dan tidaknya menjalani kepahitan itu hasil riyadhoh, bukan pemberian. Maka mereka yang hatinya lemah dan jarang berlatih akan tenggelam dalam duka tatkala mendapatkan pilihan pahit yang tidak dipilihnya. Sedangkan yang hatinya kuat akan menjadikan ujian sebagai motivasi menaikkan derajat kehidupannya. Semua terbentang didepan mata, sekarang hanya tinggal kemana kaki melangkah, disanalah manis pahit bisa dirasa.**

Dibenci Tapi Bahagia

Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: 'Saat kau bergembira atas cobaan dan penderitaan orang lain, boleh jadi Allah akan merahmatinya, dan akan mengalihkan cobaan dan penderitaan itu kepadamu'. Sekarang ini ada kencenderungan orang berbahagia melihat orang menderita, tersiksa dan menjadi korban sebuah penderitaan. Padahal saat kita merasakan gembira atas penderitaan orang, disana sebuah penderitaan yang sama juga sedang menanti kita. Inilah hukum kausalitas, siapa yang menabur angin akan menuai badai. Saat kita membenci sebuah perbuatan, sementara yang kita benci belum tentu seperti yang kita bayangkan, maka esok atau lusa yang kita benci itu kita kerjakan.

Mungkin dalam bahasa lokal itulah yang namanya kualat. Sebuah bahasa untuk menggambarkan betapa sebuah sikap akan selalu menimbulkan reaksi yang seirama atau malah bertentangan. Orang yang paling tidak siap adalah ketika menerima kejadian yang ia benci tapi teralami. Inilah mengapa banyak orang yang kemudian jatuh sakit hingga berakhir dengan kematian. Ia memelihara kebencian dan kedengkian hingga badannya melemah dan meregang nyawa.

Maka jika hari ini kau menjadi orang yang dijadikan sasaran kebencian dan jadi sarana orang bahagia atas penderitaanmu, ada peluang Allah akan menurunkan rahmatnya kepadamu. Sementara orang yang sekarang berada dalam kepuasan atas penderitaan kita, esok akan banjir air mata, meratapi nasib yang dulu kita derita. Siapkah jika ini menjadi sebuah kenyataan?

Wahai engkau yang sedang menata hati, memperbaiki diri dan memperindah akhlak, sesungguhnya hukum kausalitas ini akan senantiasa berputar menyapa penduduk bumi. Allah berfirman: boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal disana ada kebaikan. Sebaliknya boleh jadi kamu mencintai sesuatu padahal disana ada keburukan. Nabi juga bersabda; cintailah segala sesuatu sekadarnya saja, sebab boleh jadi kau membencinya. Dan bencilah sesuatu sekadarnya, sebab siapa tahu esok kau mencintainya.

Semua ada balasan, semua ada kifaratnya. Hanya mereka yang bisa menahan diri dan mengendalikan nafsu saja yang bisa selamat. Penderitaan dan ujian sebenarnya cara Allah mengungkapkan cinta kepada hambanya terkasih. Maka tidak sepantasnya kita membenci orang dicintai Allah, jika cobaan dan ujian itu demi kebaikan yang dicintai-Nya. Saatnya bermuhasabah, jangan-jangan kita selama sudah menjadikan semua panca indra kita sebagai wasilah penebar fitnah, ghibah, dan namimah. Padahal semua panca indra harus digunakan sesuai dengan perintah Allah.**

Beratnya Ikhlas

Ikhlas adalah satu kata yang mengandung banyak makna dan tafsir. Dalam berbagai ayat, ikhlas dimaksudkan untuk menggambarkan orang-orang yang mencintai hanya untuk Allah, tulus dan tidak ada pamrih apapun dalam beribadah. Ia beribadah murni karena Allah, tidak karena takut neraka atau mengharapkan surga. Inilah tingkatan tertinggi dalam beribadah, maka orang tidak akan pernah masuk kriteria ikhlas bila semua amal perbuatannya masih mencari pamrih kepada makhluk. Untuk mencapai tangga ikhlas, tentu saja banyak rintangan dan halangan, sebab godaan selalu datang.

Kemudian dalam konteks personalitas, ikhlas itu adalah bagaimana kita bisa menerima dan memberi tanpa meminta imbalan setimpal atau punya kepentingan lain. Entah yang datangnya dari Allah maupun dari manusia. Kalau kita sedang diberi ujian dan cobaan oleh Allah, berarti ikhlas adalah bagaimana kita mampu menahan beban ujian tanpa ada rasa berat.Pun pada saat kita harus memberi sesuatu ke sesama, maka ikhlas adalah bagaimana membuat hati tetap legawa, lapang dada dan tanpa beban saat memberikan sesuatu yang kita cintai. Bahkan kita juga harus ikhlas ketika orang yang menerima kebaikan kita akhirnya membalas dengan kejahatan.

Ikhlas itu bagaikan matahari yang selalu bersinar terang, meskipun semua penduduk bumi tak pernah berterimakasih. Ia tetap memberikan kebaikan kepada makhluk. Ikhlas itu bagaikan ikan yang ada dilautan, ia tetap memberikan yang terbaik kepada manusia tanpa harus membebani manusia. Ikhlas itu bagaikan siang dan malam yang tidak saling berbenturan karena ikhlas dengan peran masing-masing. Ikhlas itu bagaikan seorang guru yang mengajari muridnya tanpa beban berat, meski ia sedang mengalami masalah yang maha berat. Ikhlas itu bagaikan seorang kekasih yang memberikan maaf kepada pasangannya meski ia tahu sang pasangan punya kesalahan yang maha berat. Ikhlas itu bagaikan samudra nan luas yang bisa menampung segala macam kotoran menjadi tawar dan tak membahayakan bagi kehidupan.

Siapakah orang yang sanggup melakukan ikhlas yang maha berat itu? Anda, saya atau kita? Semua ada dalam hati masing-masing, yang jelas ada kriterianya, bahwa ikhlas itu adalah melakukan apapun selalu merasa dalam pengawasan Allah, sehingga semua perbuatan kita terkontrol. Kita bisa menjadi apapun dalam kehidupan ini, namun ruhnya harus bersih dan ikhlas sehingga selalu memberikan manfaat kepada sesama dan di mata Allah termasuk orang yang mukhlisin. Inilah tujuan tertinggi dalam penghambaan kita kepada Allah.

Dengan demikian, orang yang hatinya diliputi kabut hitam dan tak pernah tercerahkan, sangat berat melakukan ilmu ikhlas. Mereka yang masih dibelit oleh ambisi, masih senang dipuji, masih gampang merasa tersakiti, sulit memberikan maaf, sulit berbuat baik, hatinya selalu dengki dan perbuatannya selalu menyebabkan kesusahan orang lain, dijamin ikhlas hanya sekadar fatamorgana. Orang jenis ini jauh sekali dari cahaya keikhlasan. Maka bayangkan jika kita hidup dalam jangka waktu lama dengan orang jenis ini, yaitu jenis orang yang tak pernah ikhlas, dipastikan hidup tak akan tenang dan indah. Kalau nurani kita masih bersih, pasti tak akan sanggup berdekatan dengan orang yang membenci ikhlas.

Itulah sebabnya kata Nabi Muhammad, salah satu pekerjaan yang sangat berat adalah ikhlas. Jangankan manusia biasa, setingkat sahabatpun banyak yang belum lulus. Tapi mereka terus berlatih mengalahkan nafsunya sendiri, sehingga di akhir cerita para sahabat banyak yang menjadi orang-orang ikhlas dalam segala hal. Bukan hanya materi, tapi jiwa dan raganya dikorban demi Islam. Semoga kita bagian dari barisan orang-orang mukhlisin. Amien.

Cahaya Kebajikan

Sekali waktu cobalah merenungi kembali perjalanan hidup kita. Ternyata sebagian besar energi hidup kita dicurahkan kepada sesuatu yang kelam, hitam dan tak bercahaya. Mereka yang mengawali perjalanan hidupnya dengan cahaya kebajikan: memulai langkah dengan yang baik, selalu terjebak kepada rasa takabur saat melihat yang hitam, kelam dan menyakitkan. Perbuatan kita dimata umum memang baik, misalnya ibadahnya rajin, suka menolong orang, santun, nasehatnya bagus dan terlihat membenci kemungkaran. Namun didalam lubuk hati orang yang masuk dalam golongan "orang baik" tersembunyi energi negatif yang melihat dunia serba hitam: mudah curiga, mudah sakit hati, mudah mencela, mudah menghina dan mudah menyalahkan serta mencari kesalahan tanpa dia bisa memperbaiki keadaan. Makanya orang baik jenis ini tak pernah diberi amanah oleh Allah untuk memperbaiki akhlak orang yang sudah bejat dan rusak. Malah sebaliknya orang baik berubah jadi jahat karena pikiran negatif orang baik.

Sekarang lihat di sudut lain kehidupan ini, yakni mereka yang mengawali perjalanannya dengan langkah serba kelam, hitam dan penuh kegelapan. Orang ini memang tidak pernah mendapatkan cahaya kebajikan, karena semua panca indranya tertutup oleh berbagai kesulitan dunia. Hidup mereka berlumuran dosa, membunuh, merampok, berzina, mencuri dan mabok-mabokan. Hampir semua perbuatan jahat dilakukan bagaikan yang dialami Fudhail bin Iyadh, seorang sufi yang kemudian menempuh jalan kebajikan. Tak ada cahaya setitikpun sebab mereka dijauhi orang-orang baik, bahkan menjadi musuh orang-orang baik. Tapi benarkah dalam fitrahnya tidak tersimpan cahaya kebajikan?

Mari kita telaah dengan kacamata yang berbeda. Dalam diri orang yang baik selalu dibisiki pikiran negatif berupa riya, takabur, sombong dan ujub (bangga dengan diri sendiri). Makanya Allah mengajarkan kebajikan kepada orang yang mau baik dengan akhlak mulia: tawadhu, tawakkal, rendah hati, ikhlas dan qonaah. Ini sesungguhnya akhlak yang harus dipunyai orang yang baik. Namun kebanyakan akhlak terpuji ini menjauh, kemudian yang negatif bersembunyi dalam jiwa orang baik. Pikiran negatif yang berada dalam benak orang baik akan selalu dibenarkan dan banyak mendapatkan dukungan. Apalagi kalau yang punya pikiran negatif seorang yang punya kedudukan.

Sebaliknya, di dunia orang kelam yang serba jahat, sebenarnya juga tersimpan fitrah kebajikan. Hanya karena prilaku mereka yang jahat, mereka berbicara dan berbuat baik sekalipun selalu disangka jahat oleh orang baik. Dalam hati mereka sebenarnya masih ada cahaya kebajikan, mereka masih bisa berpikir positif karena kejahatan yang dia lakukan semata-mata terdesak atas kesulitan yang tak bisa dipecahkan. Mereka bisa menerima orang baik yang tulus tanpa berprasangka buruk apalagi menilai kejahatan dengan cara jahat. Bahkan mereka bisa bersahabat baik tanpa saling merugikan, sebab mereka punya solidaritas saat kita berempati. Orang baik jenis inilah yang bisa mengajak mereka ke cahaya dan menempuh jalan pertobatan.

Andaikan saya mengalami dua situasi ini, maka yang paling sulit adalah menjadi baik dikalangan orang baik tapi berpikiran negatif. Hidup terasa tertekan dan jadi beban jika setiap waktu dijadikan sasaran keburukan orang-orang baik. Bila setiap waktu pikiran negatif menjadi karakter orang baik, maka sesungguhnya saat itu pula pintu kejahatan sudah terbuka. Dan kalau mental kuat ternyata lebih mudah menjadi baik di kalangan penghuni kekelaman karena ada peluang mengajak orang menjadi baik dan mentobati perbuatannya yang jahat. Inilah misi Muhammad saat diangkat menjadi nabi. Makanya Nabi Muhammad itu diturunkan di kalangan Bani Quraisy musrik dan jahat untuk mengajak mereka kembali kepada akhlak mulia.

Seharusnya orang-orang baik itu mencontoh Nabi Muhammad agar bisa membawa misi cahaya. Dengan begitu, apapun yang dilakukan orang-orang baik akan maslahat dan akan menjadi penebar kebajikan. Buat apa mengaku jadi orang baik kalau perbuatan dan mulutnya menjadi ajang penebar keburukan? Jangan jadikan baju kebajikan untuk menyembunyikan pikiran jahat karena itu akan lebih membahayakan, dan dampaknya sangat massif daripada penjahat yang asli. Semoga kita sanggup menjadi yang terbaik dalam situasi apapun dan dalam peran apapun. Amien.