Jumat, 15 Mei 2009

Ditengah Derita, Awal Jadi Wartawan

Pada tahun 1983 kondisi rumah tangga pasangan Sumaji-Nurkhasiani berada dalam bahaya dan morat marit. Setidaknya itu kesan yang aku tangkap sebagai anak kecil yang baru kelas 2 SD. Sebagai anak kecil, aku bermimpi akan mendapatkan semuanya, terutama kasih sayang dari ibu tiri dan ayah. Namun impian itu harus buyar dan kandas. Sebab Sumaji, yang tak lain ayahku sendiri sejak menikah yang kedua kurang perhatian kepada anak yang dulu. Ia serahkan semua kepada mamak (ibu) tiri yang kala itu sangat tidak peduli. Setiap pagi mau berangkat ke sekolah, aku harus menyalakan tungku dan merebus air dan kadang membuat sarapan sendiri. Bajuku pun kusut dan lusuh. Setrika arang yang biasa dipakai menyetrika jarang dipakai untuk menyetrika bajuku. Sepatu juga jarang dibelikan, sehingga kadang aku sekolah dengan bersandal dan seringnya “nyeker” (tanpa alas kaki).
Bahkan sampai celana seragamku sobek dan rusak, mamak Nur, pun masih cuek. Sampai suatu ketika celana yang sobek itu dijahit oleh ibu Sujatman, yang tak lain ibunya Indrawati, teman sekelas. Pokoknya aku seperti anak yang tidak terurus, kurus dan kusut. Makan tidak teratur dan setiap sekolah tidak bisa jajan karena tidak diberi bekal uang jajan. Sudah segala dicueki, sepulang sekolah aku masih dapat tugas mencari kayu bakar. Setiap sore aku ke kebun mencari kayu bakar, begitu seterusnya sampai aku kelas 6 SD. Itupun kadang aku harus menerima hardikan, kemarahan dan kejengkelan. Mamak benar-benar menjadi bos. Itu terjadi di saat anak pertama Asnuri Yusuf masih bayi dan aku pun jadi jongosnya.
Perlakuan kasar dari Mamak Nur itu demikian menyayat dan membekas dalam hati. Dan lama-lama aku menyimpulkan bahwa sebenarnya Mamak tidak sayang kepadaku. Ya, ia tidak sayang sebab apapun yang dilakukannya selalu meneror dan menyakiti aku. Tidak ada niat dia memberikan pendidikan kepada anaknya. Itulah sebabnya aku akan memberikan pelajaran kelak kemudian hari, begitu suara hatiku. Aku sering menangis dan meratap, tapi tidak bisa mengadu ke ayah Sumaji sebab ia pasti tidak akan mendengar. Aku punya catatan buruk tentang ibu tiri, itu mengendap hingga aku memutuskan tidak mau diasuh lagi oleh Mamak Nur. Ditambah lagi adikku Hafiatus Sania pun harus merasakan perlakuan sama hingga ia memilih tidak sekolah. Dan terakhir adikku Nurkholis, ternyata tak beda jauh nasibnya dengan aku yang lebih dulu disakiti.
Tiada hari tanpa penderitaan. Maka untuk melepaskan kepenatan dan kejenuhan bersama mamak Nur, aku memilih berpisah. Daripada sengsara di negeri sendiri bersama ibu tiri, lebih baik sengsara bersama orang lain. Akhirnya setamat SD, aku memutuskan ngenger (ikut orang) di rumah Mbah H. Idris. Rupanya Allah mendengar doaku, aku akhirnya diterima sebagai anak asuh di Mbah Idris. Inilah momentum titik balik yang merubah semua jalan hidupku. Secara fisik, aku sebenarnya sangat lelah, sebab selama di Mbah Idris kerjaan rutinku adalah mengurus peternakan ayam yang jumlahnya mencapai ribuan ekor. Tapi itulah harga yang harus aku bayar demi bisa sekolah di MTs Sukoharjo. Disinilah aku dibuat sangat sibuk sekali tapi justru aku punya keleluasaan berimajinasi tentang masa depan. Di kandang ayam yang luas itu aku bisa membayangkan bakal jadi apa aku ini.
Salah satu bayangan cita-citaku kala itu adalah kelak aku akan jadi orang yang menguasai dunia. Dan guru bahasa Indonesiaku memberikan gambaran bahwa orang yang disebut raja dunia itu wartawan atau jurnalis. Mereka menguasai informasi maka mereka menggenggam dunia. Itulah pertama aku berani membangun kepercayaan diri bahwa nasibku barada ditanganku, sedang bapak dan ibu asuh hanya menghantarkan sampai ke pintu gerbang perubahan. Aku merasakan langsung, selama tiga tahun bersama bapak dan ibu asuh inilah aku mengalami banyak pengayaan keilmuan, karena di rumah bapak asuh ada koleksi ratusan buku dan kitab klasik. Setiap ada waktu senggang, habis mengaji Quran dan mejahadah (zikir bersama), aku membaca buku sampai tamat. Tanpa terasa semua buku sudah dibaca semuanya.
Dari kebiasaan banyak membaca, aku pun mulai mencoba menggapai asa dengan latihan menulis. Aku menggantung asa bahwa kelak aku akan menjadi penulis unggul seperti Buya Hamka dan Muhammad Natsir. Makanya aku selalu menyiapkan buku harian untuk menulis semua peristiwa untuk menjadi bahan inspirasi menulis. Kemudian semua tulisan di buku harian aku transfer idenya untuk mengembangkan tulisan baik opini, berita maupun feature. Tak sengaja akupun menerjuni dunia wartawan alias jurnalis. Inilah titik balik kehidupanku kelak.***

Anak Desa Jadi Wartawan

Kisah yang ditulis ini merupakan catatan sepenggal perjalanan wartawan senior di Ciamis, Ahmad Mukhlis,S.Ag. Publik selama ini mengenal dia sebagai jurnalis yang tajam penanya dan berani melawan arus kemapanan. Sosoknya yang tahan banting dan siap mengambil resiko membuatnya mudah dikenal berbagai kalangan. Pokoknya selama menekuni dunia jurnalistik, ia sudah kenyang dengan berbagai ancaman, teror dan bahkan pernah dilaporkan ke polisi. Kiprahnya telah menginspirasi orang-orang muda yang menerjunkan diri ke kancah pertarungan jurnalistik. Jam terbangnya sudah tinggi, tapi ia justru makin rendah hati. Kepada yang tua menghormati, kepada yang muda membimbing dan kepada yang sejajar ia merangkul.
Bahkan ia termasuk salah satu jurnalis yang multitalenta, setidaknya ia bisa memainkan berbagai jurus dalam waktu bersamaan. Malah ia dikenal manusia seribu wajah, diluar karir jurnalis yang identik dengan keahlian menulis, ia juga seorang dosen, aktifis, wiraswatawan, pekerja kreatif, ustad dan pelatih spiritual. Kemampuan ini didapatkan kebanyakan lewat otodidak, kecuali bidang keagamaan, ia dapatkan melalui pendidikan di pesantren dan sekolah keislaman. Ia punya daya juang dan dorongan jihad yang tinggi sehingga tidak pernah merasa lelah menjalani aktifitas apapun. Selamat menyimak.***
Pagi itu, tepatnya pada tahun 1970 embun pagi terasa dingin. Pepohonan nan rindang dan suara burung berkicau bersahutan menambah suasana pagi kian khas pedesaan. Desa Enggalrejo, yang terletak dipinggiran kota Kecamatan Sukoharjo itu memang pedesaan yang masih sunyi penduduknya. Hamparan padang ilalang dan pepohonan lainnya mendominasi lahan, sehingga deretan rumah penduduknya tidak kelihatan. Di sebuah gubuk yang dibangun di antara rindang pepohonan, hiduplah sepasang suami istri. Suami yang baru berusia 20 tahun itu disapa dengan panggilan Sumaji dan istrinya Sukarti. Sebagai pengantin baru, keduanya mengawali kehidupan dengan bercocok tanam dan kadang bekerja mengangkut padi dengan sepeda kumbang. Setahun menjalani rutinitas bertani dilalui dengan bahagia, karena pada tahun itu pasangan ini dikarunia anak perempuan yang lucu. Cantik dan menawan, kata orang desa. Maka lengkaplah kebahagiaan pesangan muda tersebut, sebab secara materi tidak kekurangan, sebab sang istri adalah anak saudagar kaya. Namun cobaan datang, bayi perempun itu dipanggil yang maha kuasa pada saat usia lucu-lucunya.
Dari sinilah pasangan muda tersebut mulai terguncang jiwanya. Mungkin tidak siap menerima cobaan, pasangan suami istri itu mulai kendor dalam bercocok tanam. Sumaji banting stir ke “manol” (ojek sepeda ontel kala itu) untuk mengankut berbagai hasil bumi. Dari usaha manol ini, ia mulai bisa menabung dan terus berdoa ingin punya anak lagi. Siang malam ia berdoa bersama istrinya agar diberikan anak lagi. Rupanya doa keduanya dikabulkan oleh Allah SWT. Sang istri hamil dan sembilan kemudian melahirkan anak laki-laki pada tanggal 10 Agustus 1973. Bayi mungil itu tampak lucu dan belimpah kasih sayang, karena semua anggota keluarga menyayangi bayi tersebut.
Seperti adat Jawa-Lampung, selama 7 malam bayi tersebut ditirakati dalam ritus muyen (begadang menjaga bayi ramai-ramai). Dalam ritus itu semua tetangga berdatangan, ada yang sekadar begadang, ada yang mengaji dan ada yang sekadar menikmati hidangan. Pusat perayaan jatuh pada hari ke tujuh dengan upacara barzanji (baca sholawat) dan cukuran rambut. Berbagai hidangan dan segala macam makanan khas desa disajikan. Tak lupa daging aqiqah disantap ramai-ramai. Semua ikut berbahagia menyambut kehadiran sang bayi. Wajah-wajah bahagia turut mendoakan sang bayi tersebut yang belakangan diberi nama Ahmad Mukhlis. Menurut bahasa Arab, kata Mukhlis berarti orang yang ikhlas. Sumaji, sebagai ayah berdoa semoga kelak anaknya menjadi orang yang benar-benar ikhlas.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan kemudian berganti tahun tak terasa bayi tersebut bertumbuh kembang hingga punya tiga adik, yakni Kasmiatun, Hafiatus Sania dan Nurkholis. Mungkin inilah puncak dari semua. Kehidupan indah yang dijalani pasangan Sumaji dan Sukarti ternyata mulai redup. Dengan beban empat anak rumah tangga mereka goyah. Pendapatan dari pekerjaan “manol” sudah tidak mencukupi. Dalam suasana kalut dan tak menentu ekonomi ini, Sumaji pindah menjadi tukang bangunan. Sejak itu, Sumaji sering merantau ke luar desa mencari pekerjaan membangun rumah. Ia mulai jarang pulang dan akhirnya jarang komunikasi karena zaman itu kendaraan masih susah.
Sang istri dengan empat anak kewalahan mengurusnya. Sementara suami bekerja di luar desa dan hanya pulang setelah dapat bayaran kerja. Begitu seterus sampai suatu ketika Sukarti sebagai istri menyerah mengurusi anak sendirian. Pertengkaran sudah tak terhindarkan lagi, sampai akhirnya berlanjut kepada perceraian, tepatnya tahun 1980-an. Ini titik balik yang merusak semua masa indah anak-anaknya. Empat anak dibagi dua, Ahmad Mukhlis dan Kasmiatun ikut neneknya serta Hafiatus Sania dan Nurkholis tetap bersama ibunya. Sementara Sumaji kembali berkelana dan menekuni dunia pertukangan. Dan pada tahun 1982, Sumaji tertambat hatinya dengan janda tanpa anak Nurkhasiani, keduanya pun menikah. Dari pernikahan kedua ini Sumaji dikaruniai enam anak, yakni Asnuri Yusuf, Marfuatin Muthoharoh, Nurul Maslikhah, M.Fajrun Najah Ahmadi, M. Fajrun Najah Ansori (kembar) dan yang bungsu M. Fajrul Fallah.
Pernikahan kedua Sumaji disangka solusi yang akan membawa bahagia. Ternyata sebaliknya, kesengsaraan demi kesengsaraan terus bertubi-tubi. Anak-anak bertambah sementara penghasilan terus merosot seiring dengan sepinya order pekerjaan bangunan. Badan mulai sakit-sakitan sehingga tidak produktif lagi. Tapi meski demikian, Sumaji pun mengalami banyak perubahan, setidaknya uang selalu ada hanya salah manajemen. Akibatnya berapapun uang yang diterima selalu habis untuk konsumsi tidak ada yang digunakan untuk investasi usaha. Maka bisa ditebak, anak-anaklah yang jadi korban. Biaya sekolah tidak terbayar sebab semua habis tak bersisa. ***(Bersambung Coy)