Minggu, 20 Desember 2009

Bersyukur

Bagaimana orang bisa bersyukur kepada Allah, jika sehari-harinya ia sama sekali tidak bisa berterimakasih kepada hamba Allah yang berbuat baik kepadanya? Bagaimana ia bisa berbuat baik ke manusia, sementara hubungan dia dengan Allah rusak dan kurang harmonis? Bagaimana ia mengerti sedang ditolong, dia saja tidak sadar hidup ditolong Allah? Bagaimana dia bisa memahami sebuah musibah dari Allah, karena dia sendiri sang pembuat musibah kepada manusia. Bagaimana dia merasakan cinta Allah, dia sendiri sang perusak cinta, karena nafsu amarah lebih besar kepada manusia daripada cintanya.

Orang dengan jenis ini sejatinya sudah tidak bermakna apa-apa hidupnya. Ia tidak bisa menjadi manusia yang paling bermanfaat buat orang lain. Sebab dimana-mana ia menebar petaka dan derita, itulah sumber kebahagiaannya. Masih layakkah manusia jenis ini dijadikan sahabat, teman, suami, istri atau panutan kita? Bagaimana mungkin kita menjadikan dia orang dekat kita, padahal sewaktu-waktu ia menjahati kita dengan nafsunya. Masih adakah nilainya orang jenis ini?

Jangankan di mata Allah, di mata manusia saja dia sudah tidak berharga. Kata-kata, sikap, dan pemikirannya sudah dipandu syetan, maka masihkah kita bertahan berdekatan dengannya? Maka tak ada jalan lain, kita harus hijrah jika berdekatan dengan orang jenis ini. Kita harus tinggal orang ini, sebab mudaratnya lebih besar daripada maslahatnya. Menjadikan dia teman hanya membuang waktu dan energi.

Tuhan menciptakan manusia dengan akal dan hati yang sempurna. Kita hanya perlu sedikit energi untuk mempergunakan akal dan hati sesuai harapan sang pencipta, yakni lakukan yang terbaik dibawah ridho Allah.jangan pernah mau didikte kekuatan jahat orang jenis ini, sebab disana ada bahaya yang mengancam. ***

Jumat, 18 Desember 2009

Cinta Sejati

Malam ini Syeh Abdul Muhyi kembali mengajar. Temanya tentang cinta sejati, dengan mengupas ayat di Surat Al Hujurat Sang murid sudah berjajar mengelilingi beliau. Mata mereka penasaran kira-kira apa yang akan disampaikan sang syeh.

"Anak-anakku, siapa yang bisa menjawab apa bedanya cinta sejati dengan cinta nafsu? Coba dijawab dan terangkan," ujar Syeh mmebuka pengajian.

Masing-masing murid menjawab dengan pengetahuannya. Tapi tak satupun mengena, sebab wawasan dan pengalaman para murid masih di bawah. Syeh hanya tersenyum. "Ya, jawaban kalian semuanya benar tapi bukan itu yang aku maksudkan," ujar Syeh.

Lalu Syeh mulai mengupas. Cinta, kata Syeh, memang anugrah dari Allah yang dihunjamkan ke dada manusia. Kalau ia jatuh ke tanah yang bukan miliknya, akan berubah menjadi petaka karena dipandu oleh nafsu. Tapi kalau cinta itu ditanam pada lahan yang halal dan diridhoi ia akan menjadi berkah dan rahmat.

Cinta yang bersumber dari Allah akan abadi sampai akhir dunia ini. Sebab ia bersandar kepada yang maha abadi. Sedangkan cinta yang bersumber dari nafsu akan meluluhlantakkan manusia, sebab ia akan rusak dan hancur. Mereka hanya akan bertemu didunia, sedang di akherat mereka saling serang. "Coba baca tafsirnya di surat Al Hujurat," pinta Syeh.

Para murid puas mendengar penjelasan sang Syeh. Namun rasa penasaran masih terus bergelayutan. Mereka akan merenungi dulu, untuk ditanyakan hari berikutnya.

Selasa, 08 Desember 2009

Cinta dan Kesabaran

"Cinta tatkala diucapkan akan menuntut sebuah pengorbanan dan kesabaran. Coba bayangkan bagaimana para kekasih Allah diberikan cobaan dan ujian yang maha berat. Nabi Ibrahim harus menyembelih anaknya, Nabi Ayub dengan penyakit kudisnya dan kekasih Allah lainnya menderita sepanjang hayatnya. Semua kisah cinta kekasih Allah ini bagaikan parade penderitaan," ujar Syeh Abdul Muhyi, mengawali muzakarah pagi didepan murid-muridnya.

"Wahai tuan, mengapa cinta itu harus dibalas dengan ujian dan penderitaan," tanya seorang murid yang terpana mendengar penuturan Steh Abdul Muhyi. Guru sufi yang dikenal dengan sikap tawadhu ini tersenyum.

"Wahai muridku, ujian itu merupakan bagian dari laboratorium untuk melihat siapakah diantara mereka yang cintanya tulus. Begitu kita mengucapkan kata cinta, disanalah ujian datang bertubi-tubi. Maksudnya ini agar kita yakin dan teguh bahwa cinta kita memang hanya untuk-Nya. Maka para kekasih Allah rela menderita demi mendapatkan cinta-Nya,' tambah Syeh.

"Kalau begitu dimanakah letak kebahagiaan wahai guru?" timpal murid yang lain. Syeh Abdul Muhyi kembali menjawab. "Kebahagiaan itu merupakan buah dari sebuah perjalanan yang penuh penderitaan. Kekasih Allah dinyatakan sebagai kekasih setelah lulus menjalani penderitaan,".

"Bagaimana dengan cinta hamba kepada hamba wahai guru,"?, tanya sang murid yang masih penasaran. "Apakah sama penderitaannya?," tanyanya lagi.

Syeh kembali menjawab: "Cinta dengan sesama hamba pun akan mengalami terjalnya perjalanan. Cintamu kepada perempuan yang paling kau kasihi misalnya, tak akan pernah terlepas dari ujian dan cobaan. Kalau ujian dan cobaan tiada, maka tidak ada yang namanya kebahagiaan,"

"Kalau begitu bagaimana Syeh kami mempertahankan cinta?" ujar muridnya lagi.
Syeh pun senyum. "Rawatlah cinta dengan menyandarkannya kepada yang maha memberi cinta. Jalani dengan penuh kesabaran sebab ia merupakan perekat yang akan membuat kehidupan demikian berarti. Kehidupan ada karena ada cinta," jawab Syeh.

Para murid nampaknya puas dengan jawaban Syeh Muhyi.Pengajian pun diakhiri dengan rasa penasaran.

Selasa, 24 November 2009

Taat dan Sabar

"Ya Allah, aku sadar ketaatanku tidak bisa membeli surga-Mu, pun demikian dengan kemaksiatan sama sekali tidak mengurangi kekuasaan-Mu".

Siapakah yang harus ditaati setelah Allah dan Rosul-Nya? Pertanyaan ini sering bergelayutan dibenak setiap orang. Pertanyaan ini juga dirasakan oleh seorang ibu muda yang sukses dalam karir, sebut saja namanya Fatimah. Mengawali kehidupan dengan kesengsaraan dan penderitaan adalah hal biasa. Saking biasanya ia tak merasakan bahwa sebuah penderitaan bermakna derita, tapi derita adalah sebuah rasa manis kehidupan. Pun dengan masalah asmara, ia mendapatkan limpahan kasih sayang yang berlebih. Semua perjalanan hidupnya boleh dibilang mulus mencapai impian.

Namun perkembangan zaman terus berputar. Ada sisi perubahan yang tidak disadari dalam hidupnya. Si Fatimah yang dulu begitu taat dan tawadhu kepada suaminya, kini telah berubah menjadi seorang istri yang berani, mandiri dan sedikit "melawan" bila ia tergores sedikit perasaannya. Sasarannya adalah orang yang mencintai dia yakni suaminya.Ia makin pintar membela haknya seraya melupakan bahwa dia bisa mencapai tangga sukses dibelakangnya ada suami yang sepenuh hati memberikan segalanya.

Andaikan itu terjadi dalam hidup kita sehari-hari bagaimana sikap kita? Seperti pada mukaddimah diatas, siapakah yang harus ditaati setelah Allah dan Rosul-Nya? Bagi seorang istri, ketaatan kepada suami merupakan fase berikutnya setelah Allah dan Rosul-Nya. Selama suaminya menyuruh kepada jalan Allah dan tidak menyuruh maksiat, maka taat kepada suami adalah harga mati. Nabi Muhammad pernah mendapatkan pengaduan dari sahabat bahwa ada seorang istri yang mendahulukan taat kepada suami daripada orang tuanya. Sampai orang tuanya meninggal, si istri tersebut tidak tahu karena ia sedang menanti suaminya dari medan jihad.Nabi memberikan nilai tinggi kepada istri sahabatnya tersebut, dan pahala bagi orang tuanya.

Mengapa Nabi memberikan nilai tinggi? Sejatinya dalam taat itu ada kekuatan kesabaran, sebab tanpa sabar sangatlah berat untuk taat. Inilah kuncinya kenapa masalah taat menempati strata tinggi. Didalam taat ada pengorbanan yang tak ternilai harganya, sehingga mereka yang mampu menjalaninya akan menjadi orang yang beruntung.

Tapi lihatlah orang sekarang, taat adalah sesuatu yang berat dan menyesakkan dada. Kebebasan adalah keniscayaan itulah yang membuat seorang istri enggan memperlihatkan ketaatan. Kisah si Fatimah adalah fenomena umum sekarang, tapi itu bukanlah teladan yang baik untuk mereka yang menjadikan Islam sebagai tuntunan. Islam memberikan peluang yang sama antara suami dan istri untuk sama-sama memberikan yang terbaik dan membina hubungan harmonis dibawah naungan Islam. **

Jumat, 20 November 2009

Hati yang Terbelah

"Ya, Allah aku memang tak sanggup memberikan cinta seluas lautan Mu, makanya jika dia yang aku cintai menambatkan cinta dalam dermaga selain aku, itu adalah cara dia mencari keluasan cinta selain aku".

Alkisah, ada seorang yang hatinya demikian tersayat sembilu. Ia hanya bisa meraba-raba adakah cinta dalam hatinya ? Dialah ummul mukminin di luar Aisyah yang melihat Rosul sangat romantis kepada Aisyah. Mereka sebenarnya sudah merasakan cinta Muhammad dengan sepenuh jiwa. Namun cinta Muhammad kepada Aisyah, sebagaimana disitir Allah sangat cenderung ke Aisyah. Inilah awal api cemburu di keluarga Muhammad, sehingga Allah menurunkan ayat-Nya.

Hati manusia diciptakan dengan satu kecenderungan. Inilah kenapa Allah menegur Nabi Muhammad tatkala hatinya mulai cenderung ke Aisyah, sementara yang lain diabaikan. Kecenderungan hati manusia itu menjadi tema serius dalam Al-Quran, karena disana ada hati yang tersakiti. Makanya Allah memberikan tuntunan agar Muhammad tidak memperlihatkan kecenderungan hatinya dengan memperbagus akhlaknya kepada yang mencintainya. Setidaknya mereka diperlakukan setara sehingga mereka merasa diakui keberadaanya di hati Nabi Muhammad.

Bagaimana dengan umat Muhammad sekarang? Orang sekarang tidak memperlihatkan akhlak yang mulia dihati yang ia cintai. Tapi ia akan membangun cinta yang sesuai dengan konstruksi pikiran dan hatinya. Kalau ternyata dalam hati yang dicintai ia tidak hadir bagaikan Ummul Mukminin Aisyah, ia akan mencari sosok lain. Makanya orang yang hatinya selembut Muhammad akan tersakiti. Padahal kelembutan hati Muhammad itu punya kekuatan dahsyat untuk meluluhkan hati yang gundah dan merasa terabaikan.Entahlah, semuanya sedang menuju kepada kehancuran, masih adakah cinta dan kelembutan Muhammad di hati ummatnya? Wallahu'alam.***

Kamis, 19 November 2009

Kiamat Hati

"Ya Allah jadikanlah aku sebagai orang yang mengambil pelajaran, jangan jadikan aku sebagai pelajaran bagi orang lain, apalagi pelajaran dalam kemaksiatan,".

Doa inilah yang menginspirasi tulisan ini. Syahdan, ada sebuah kisah perjalanan anak manusia yang malang melintang dalam perburuan nafsu hingga ia terpuruk. Sebut saja sang tokoh kisah ini Si Item, usianya sudah tak muda lagi. Sohibul kisah ini mengawali membuka kehidupan dengan cinta, tanpa definisi dan tanpa menyelami apa itu cinta. Ia hanya tahu bahwa rasa senang dan bahagia kepada lawan jenis dianggap cinta. Suatu hari hatinya didatangi rasa senang ini tatkala menatap seorang laki-laki yang sudah senja usianya.Semula biasa saja dan hanya kenal biasa. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Dewa Amor mengipas-ngipas hingga timbullah rasa cinta. Akhirnya kedua sijoli tua itu menjalin cinta dan hidup layaknya suami istri hingga tanpa terasa ada calon anak yang siap menjadi saksi cinta mereka.

Adakah yang janggal dalam percintaan mereka? Dalam dunia modern seperti sekarang kisah semacam itu sudah banyak menimpa semua usia. Tidak aneh dan lumrah sehingga tidak ada orang yang menyalahkan.Dan pelakunya pun merasa benar terus, sehingga semua menjadi biasa. Selama hal itu dijalani oleh yang bersangkutan dianggap membahagiakan tidak masalah meski secara norma salah.Bagaimana jika ternyata kebahagiaan cinta yang dibangun dalam pondasi nafsu itu membawa petaka? Bagaimana kalau ternyata cinta buta itu menutup nurani?

Dalam kisah Si Item itu ternyata si lelaki yang dijadikan pangeran Arjuna jauh dari bayangan. Ia hanya gagah di permainan asmara, tapi di alam nyata adalah arjuna yang hanya pandai memeloroti apa yang ada ditangan si Item. Setelah kehormatannya, giliran hartanya, hingga semuanya habis. Bahagiakah si Item? Entahlah kisah cinta ini belum berakhir sebab keburu Kiamat diramalkan tahun 2012.

Intinya, hidup memang penuh misteri dan rahasia, apalagi yang menyangkut hati manusia. Sejak dulu kala yang namanya hati mendapatkan perhatian besar dari Allah yang menciptakan manusia. Ini mengindikasikan bahwa hati punya kedudukan penting dalam siklus kehidupan, ia bisa menjadi pusat harmoni tapi juga bisa menjadi sumber petaka.Semua tergantung kepada kita, kalau mau aman di akherat berarti hati dibimbing mengenal Allah.Sedangkan bagi yang ingin memuaskan hati dengan kemewahan dunia, bawalah hati menyelami dunia tentu dengan menempuh cara syetan.Inilah Kiamat Hati...***

Sabtu, 14 November 2009

Tanda-tanda Hati Busuk

Tanda-tanda hati sakit ialah ketika seorang hamba sudah tidak bisa menerima cahaya dari Allah. Hati adalah panglima semua aktifitas manusia, makanya Nabi Muhammad bersabda, "dalam jasad manusia ada segumpal darah. Bila segumpal darah itu baik, maka baik pula prilakunya, sebaliknya bila hatinya busuk, prilakunya juga busuk". Kalau dianalogikan dengan zaman sekarang, hati yang sakit adalah hati yang dipenuhi oleh virus jahat. Bayangkan bagaimana nasib dunia ini kalau umat manusia yang dipenuhi virus jahat melakukan aksinya. Maka kehancuran sudah terbayang didepan mata, semua tatanan sosial rusak, kemajuan teknologi menjadi petaka dan hubungan antar manusia dipenuhi dengan peperangan.

Hati yang busuk akan menebarkan aroma yang tidak sedap bagaikan virus trojan di komputer yang merusak sistem. Bayangkan jika hati yang busuk itu menimpa pejabat, pemegang kekuasaan, dan pemegang kebijakan yang mengendalikan kehidupan orang banyak.Pastilah segala macam musibah yang menyengsarakan banyak orang akan terjadi. Tidak usah jauh-jauhlah, di sekitar kita banyak kejadian yang semuanya kalau ditelaah lahir dari hati yang busuk dan sakit. Contoh yang paling mutakhir adalah korupsi dan anak turunannya yang sekarang menjangkiti semua elemen masyarakat. Pelakunya bukan orang biasa dan bodoh, pelakunya rata-rata orang yang secara intelektual pintar tapi hatinya mati dan berpenyakitan, sehingga prilakunya menyakiti orang sekitarnya.

Orang jenis ini selalu memanfaatkan peluang yang sempit, misalnya memanfaatkan koneksi, jabatan dan wibawanya. Sebelum jadi apa-apa hatinya sudah sakit, apatah lagi setelah segala ditangannya? Virus hati yang busuk kini telah menjadi kejahatan sistemik yang akut sampai-sampai tidak terasa bahwa itu kejahatan. Malah sekarang orang makin pintar melakukan metamorfosa: yang berhati sakit menyulap dirinya menjadi manusia soleh dan bersih. Caranya dengan menempelkan simbol-simbol kesolehan antara lain: rajin haji dan umroh, rajin pengajian, rajin bersedekah, dan sangat dermawan.

Sementara di sudut sana, mereka yang ahli ibadah dan ikhlas beramal soleh harus menanggung derita fitnah. Berjenggot dituduh teroris, rajin mengaji difitnah aliran sesat, dan cap ekstrem bagi yang rajin dakwah. Semuanya berlangsung bagaikan peperangan, padahal sejatinya mereka yang berhati sakit sedang berlindung agar topengnya tidak terbongkar. Sehingga orang yang jujur, ikhlas dan baik dijadikan kambing hitam. Tujuannya sederhana: jangan sampai kedok kesolehan palsu orang yang berpenyakit hati terkuak. Padahal sejatinya, kata Allah, doa-doa orang soleh itulah yang memperlambat pembalasan dan kemurkaan Allah. Orang jahat dan berhati busuk kalau hari ini selamat dari murka Allah, sesungguhnya ia terlindungi oleh doa orang soleh.**

Hati Yang Sakit

Kalau fisik yang sakit banyak dokter yang siap memberikan obat. Tapi bagaimana dengan hati yang sakit? Siapakah yang bisa memberikan obat? Adakah dokter yang ahli? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab meskipun banyak psikiater, psikoterapis dan ahli kejiwaan. Tapi urusan hati ternyata tetaplah otonomi diri kita sendiri. Obatnya tetap kita dan kita bukan orang lain. Kalaupun ada peran orang lain, ia hanya sebatas memandu perjalanan kita mencapai hidayah dan cahaya.

Hati yang sakit, kata ulama sufi merupakan hati yang dijangkiti berbagai penyakit dengki, takabur, zalim, amarah, dan semua jenis kejahatan yang bersumber dari bisikan jahat. Orang dengan jenis ini hatinya dipenuhi virus jahat hingga menumpuk yang akhirnya terpancar dalam prilaku fisiknya.Tak peduli siapa kita, mau kiyai, guru, pejabat, politisi, bupati atau orang miskin sekalipun. Penyakit hati bisa menyebar ke semua umat manusia. Maka siapapun kita harus mewaspadai sebab penyakit hati yang tak tersembuhkan akan berubah menjadi petaka. Hubungan sosial dan sistem jadi rusak kalau hati setiap orang dijangkiti virus jahat.

Lalu bagaimana upaya kita menyembuhkan penyakit hati ini? Kata Nabi Muhammad hati yang sakit dan keras harus banyak muhasabah dan mengingat kematian. Kalau dengan kematian masih juga keras dan tak tunduk, maka takbirkanlah karena hakekatnya ia sudah mati sebelum mati. Dia adalah mayat hidup, jasadnya kemana-mana, tapi ruhnya sudah mati dan tak memancarkan kebaikan.Kira-kira manusia semacam ini apanya yang bisa diambil manfaatnya?

Jumat, 13 November 2009

Menjadi Hamba Syetan

Tanda-tanda bahwa kita telah diwisuda menjadi hamba syetan adalah adanya sikap arogan dan sombong dalam pribadi kita. Dalam beberapa pekan ini kita menyaksikan bagaimana sebuah kebenaran harus diputarbalikkan. Pertarungan antara Cicak (KPK) dengan Buaya (Polri)adalah merupakan contoh bagaimana sebuah kebenaran dan keadilan bisa dengan mudah diskenariokan sesuai pesanan. Kita keblinger sehingga menyangka diri sebagai yang maha segalanya, bahkan bisa menentukan nasib dan nyawa seseorang. Takabur dan sombong diperlihatkan lewat arogansi kedinasan dan penuturan.

Bagaimana menyikapi angkara murka yang demikian dahsyat ini ? Sebagai hamba haruslah menyadari sehebat apapun ada batas yang tak bisa dilawan, yakni takdir. Kesombongan dengan berbagai turunannya sama sekali tidak pernah menentramkan dunia, ia justru menjadi sumber petaka dan musibah. Kalau pun mereka selamat atas perbuatannya, sejatinya itu bukan keselamatan. Tapi itu cara Tuhan "menghabiskan" semua usianya didunia, sehingga kelak di akherat tak satupun kelihatan sebuah kebaikan. Sebaliknya orang baik cenderung dikalahkan, ini merupakan isyarat bahwa ketika ia pulang ke negeri akherat sudah bersih karena semua dosanya telah dihapus didunia.

Maka siapapun yang kini sedang menikmati indahnya sebuah kesombongan, ia sedang menuju ke negeri Jahannam. Pasalnya kesombongan merupakan parameter untuk menguji siapa di antara manusia yang menjadi hamba Allah dan hamba Syetan. Yang dominan kesombongannya masuk golongan hamba Syetan, dan tentu saja neraka Jahannam telah menanti dengan murkanya. Maka sebelum semuanya menjadi kenyataan, dan semua belum membujur kaku, ada baiknya kita membersihkan kesombongan tersebut dari diri kita.

Bukankah tidak pantas kita terus menggendong kesombongan ? Sebab semua yang kita miliki berada dalam genggaman Allah, kita tak bisa menghindar sedikitpun. Maka hanya ada satu kata :kembalilah ke jalan Allah selagi pintu tobat amsih terbuka dan Allah masih memberi kita kesempatan memperbaiki diri.***

Minggu, 01 November 2009

Merdekakan Hati

Mengapa kita tidak pernah sampai kepada Allah ? Salah satunya adalah di hati kita ada penjajahan yang sulit dihapuskan. Setiap kita melakukan perjalanan ruhani menuju Allah, di tengah jalan selalu ada rintangan yang dilancarkan oleh penjajah. Siapakah yang bisa dikatakan sebagai penjajah? Adalah mereka yang senantiasa menghalangi jalan menuju Allah, bisa karena jabatannya,posisinya dan atau keberadaannya. Orang dengan kadar kesyetanan yang tinggi hanya akan menyuburkan penjajahan.Makanya sudah menjadi kewajiban kita menyingkirkan semua penjajah baik yang kelihatan maupun tidak.

Kamis, 22 Oktober 2009

Misteri Hati

Dalam tubuh manusia ada tiga unsur yang saling menopang kehidupan. Unsur tersebut antara lain Qolbun, Sirrun dan Ruhun. Qulbun merupakan tempat semua ilham baik dan buruk bersuara, sebab disana ada nafsu dan nurani (fitrah). Mereka yang tidak bisa mencerna dan memfilter ilham yang datang akan mengalami guncangan, sehingga apapun bisikan dalam hati akan diikuti. Kalau kebetulan bisikan ilham itu datangnya dari Cahaya Allah, manusia akan mendekat kepada Allah. Sebaliknya kalau ia terkecoh dengan ilham dari syetan, ia menjadi hamba sahaya syetan yang dianggap Tuhan.

Qolbun akan mengolah semua input ilham, kemudian diteruskan ke Sirrun, yakni pusat pengolahan rasa. Setelah menerima input ilham, sang Sirrun menerjemahkan ke dalam bahasa rasa dan perasaan, di antaranya ada rasa tenang, gelisah, cinta, was-was dan kadang benci atau amarah. Mereka yang qolbun-nya dibimbing syetan akan memaknai rasa dengan nafsu negatif. Gelisah, marah dan semua yang negatif dibahasakan dalam olah tubuh, sehingga orang menilai di sebagai manusia jahat. Sebaliknya, mereka yang berhasil mengolah ilham kebaikan, prilakunya akan soleh dan dekat dengan Tuhan.

Makanya dalam kondisi semacam ini kalau terhenti akan menghasilkan sikap plin plan atau munafik. Kemarin cinta besoknya benci, atau sebaliknya. Begitu seterusnya sampai akhirnya stress oleh campuraduknya semua rasa. Ini yang membuat banyak orang berjatuhan dan jatuh ke dalam jurang kehinaan sebagai manusia. Ia kehilangan harga diri dan muruah, karena tak mampu menterjemahkan bisikan dalam qolbunnya. Inilah benih yang mengawali manusia itu menjadi pelaku kejahatan dan kezaliman.

Bayangan semacam ini tidak akan terjadi jika manusia terus melakukan perjalanan menuju Ruhun atau spiritualitas. Didunia ruh manusia bisa menapaki ilham kebaikan. Semua yang ada tidak kelihatan, yang kelihatan hanya Allah, itulah ruh. Orang yang mampu mencapai tangga ini akan memancarkan cahaya Cinta ke semua makhluk. Cintanya kepada Allah akan memancar ke semua penjuru dunia, sehingga yang ada hanya cinta dan rahmat universal yang menyejukkan. Inilah inti perjalanan iman, makanya barangsiapa yang enggan menempuh perjalanan ruhani, ia akan terbelenggu dalam alam jasadiyah. Padahal semua yang berjasad akan hancur dan musnah. Masihkkah kita enggan mendekat kepada yang Maha Abadi dan tak pernah hancur?***

Sabtu, 17 Oktober 2009

Keajaiban Doa

“Berdoalah kepadaku, niscaya doamu Aku kabulkan”. Begitulah Allah berfirman dalam Al-Quran. Dalam Islam, doa merupakan jantungnya ibadah, sebab lewat doa itulah kita berkomunikasi dan berasyikmasyuk kepada Allah. Dan Allah sangat senang mendengar hambanya merintih berdoa memohon kepada-Nya. Itulah sebabnya Allah cemburu kepada hambanya yang enggan berdoa kepada-Nya, apalagi malah berdoa kepada selain Allah. Dalam hadis qudsi Allah bersabda: Aku cemburu kepada hamba-Ku yang meminta kepada selain Aku. Padahal Akulah yang mencukupi keperluannya”. Ini adalah penegasan betapa Allah sangat memperhatikan doa hamba-Nya.
Karena itu seorang hamba yang selalu berdoa akan lancar mengkomunikasikan semua isi hatinya kepada Allah. Dan hatinya pun akan terasa ringan, tenang, bening dan bercahaya karena tidak ada beban lagi yang menindih. Sebab semuanya sudah dipasrahkan kepada Allah lewat doa-doanya. Wajah mereka yang senantiasa berdoa terlihat cerah dan optimis, karena yakin Allah ada disisinya. Makanya hidup mereka juga berjalan alamiah dan senantiasa diberkahi. Ia terus berdoa dan berdoa seraya tidak memikirkan apakah doanya dikabulkan atau tidak, sebab baginya doa adalah ungkapan jiwa.
Ketika kita diberi nikmat, doa adalah ungkapan syukur. Ketika kita diberi cobaan dan musibah, doa merupakan ungkapan kepasrahan. Ketika kita terjebak dalam dosa, doa adalah nyanyian pertobatan. Ketika kita dalam ketaatan, doa adalah alat komunikasi seorang hamba kepada penciptanya. Makanya masalah dikabul atau tidaknya doa merupakan kewenangan Allah, sebab hanya Dia yang maha mengetahui apa terbaik buat hamba-Nya. Tidak semua doa dikabulkan seketika, tapi melalui proses hukum alam.Namun ada juga yang dikabul tanpa proses alam. Tapi semua ini bukan urusan makhluk tapi hak prerogatif Allah.
Tugas kita sebagai hamba adalah hanya berdoa. Ada apa dengan doa sehingga Islam mewajibkan berdoa? Doa sebagai alat komunikasi mengandung sejumlah kekuatan dahsyat melebihi bom atom. Daya ledak dan dobraknya sangat luar biasa, terutama bila diucapkan oleh hamba yang berhati bersih, pancarannya akan sangat kuat. Masih ragukah kita ?***

Jumat, 09 Oktober 2009

Menjadi Pelayan Allah

"Wahai Duniaku, layanilah hambaku yang melayani Aku", demikian Tuhan bersabda dalam sebuah Hadits Qudsi. Sebagai orang beriman tidak semestinya gelisah dengan dunia selama ia bersandar kepada Allah. Dengan hanya bersandar kepada Allah, dunia dan seisinya akan ditundukkan dan melayani orang beriman. Namun sekarang terbalik, banyak orang justru menjadi pelayan dunia. Siang malam waktunya habis untuk mengurus dunia sehingga lupa melayani Allah sang pemilik dunia.

Dengan menjadi pelayan dunia, secara tidak langsung kita menghamba kepada Makhluk. Ini merupakan petaka dan bencana, ditambah lagi jika menjadikan manusia sebagai sandaran. Padahal yang namanya makhluk tidak kekal dan akan binasa. Kita hidup bukan untuk menyenangkan semua manusia, juga bukan untuk menyusahkan semua orang. Tapi kita hidup untuk yang maha Hidup, karena dari sana semua berawal dan berakhir.

Karena itu, kini saatnya kita melepas semua atribut dunia yang melenakan dan mempesona. Kita kembali kepada Allah untuk kehidupan yang kekal. Semoga dengan kita kembali ke Allah, semua isi dunia akan tunduk. Amin.

Kamis, 01 Oktober 2009

Makna Sebuah Peristiwa

Setiap peristiwa baik manis atau pahit selalu menyisakan bahan renungan. Malah Allah sengaja menjadikan kisah dan peristiwa sebagai wahana penyampaian pelajaran kepada manusia. Makanya banyak ayat dalam ALquran yang menyitir kisah yang berskala besar dan peristiwa monumental. Semua itu dimaksudkan sebagai ibroh khasanah, yakni dimabil baiknya. Kalau kita mendengar kisah buruk, berarti kita diperintah agar tidak ikut celaka. Sedangkan kisah kebaikan, kita diperintah untuk meneladani agar hidup kita menjadi lebih baik dan berkualitas.

Kisah biasannya menyangkut perjalanan manusia dan peradabannnya. Disana manusia yang anti Tuhan dan yang taat beriman bersaiang menguasai bumi yang dipijak ini. Kalau bumi dikuasai angkara murka, kerusakan yang terjadi. Sebaliknya saat bumi di bawah genggaman manusia beriman, disanalah lahir kebudayaan dan peradaban yang masyhur dan monumental.Begitu seterusnya selisih berganti, itulah sunattulah perputaran sejarah.

Kemudian yang menyangkut peristiwa, biasanya Allah menyitir peristiwa gempa bumi, gunung meletus dan tsunami. Pada saat bumi dikuasai angkara murna dan kemusrikan, Allah menurunkan azab untuk menghukum kesombongan manusia. Namun tidak semua peristiwa adalah hukuman, tapi kadang ujian agar manusia segera kembali kepada jalan yang benar dan mendekat kepada sang pencipta.

Gempa bumi yang melanda saat ini boleh jadi merupakan pelajaran agar kita bertaubat atas kesalahan dan kezaliman kita sebagai manusia. Ini bagi mereka yang masih bisa disentuh hatinya. Sedangkan bagi yang ingkar, mungkin ini hukuman. Bagaimana dengan orang beriman ? Gempa bumi ini merupakan kasih sayang Allah untuk menguji keimanan dan meningkatkan kualitas amal soleh kita. Amin ***

Atas Nama Cinta

Atas nama cinta, orang sering memaksakan kehendaknya agar diberikan balasan yang sama. Namun kebanyakan pecinta jarang menyadari bahwa cinta itu punya jiwa sendiri. Ia bekerja di alam bawah sadar yang mengendalikan semua aktifitas manusia. Kadang kita sering terjebak mana suara getaran cinta dan mana yang sedang bisikan hewaniyah. Semua bercampur dalam balutan getaran, sehingga bagi mereka yang tidak punya filter selalu menafsirkan itulah cinta. Padahal ada getaran nafsu yang bersembunyi dalam indahnya cinta, sehingga yang dicintai tidak sadar ia dalam bahaya.

Kini kalau kita melihat banyak korban atas nama cinta, sejatinya mereka bukan terkena kejahatan cinta, tapi kejahatan nafsu yang berbaju cinta. Inilah awal petaka umat manusia. Kalau begitu bagaimana kita memaknai semua ini ? Seorang guru sufi bercerita, cinta itu semakin misterius saat kita mempertanyakan kedalamannya.Semakin bertanya semakin sulit mencari jawabannya, namun ia ada bersama kehidupan dan menopang kehidupan manusia. Maka seharusnya cinta itu mengabadikan hubungan manusia, namun kenyataannya atas nama cinta kita saling membenci dan merusak tatanan. Kita semakin egois dengan mengatasnamakan cinta. ***

Rabu, 23 September 2009

Kebaikan Yang Membunuh

Tuhan senantiasa menyuruh ummat-Nya untuk berbuat baik. Namun dalam kenyataannya, kebaikan telah dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga kita makin sulit membedakan mana kebaikan yang tulus dan palsu.Mereka yang mendarmakan hidupnya demi ketulusan kini justru jadi pecundang dan musuh bersama. Sedangkan mereka yang mengemas kepalsuan menjadi kebaikan menjadi pahlawan yang dipuja-puja. Ketulusan yang sedarah dengan keikhlasan kini makin dibenci manusia.

Setiap kebaikan apapun bentuknya kini selalu dibumbui dengan kepentingan dan motif riya dan pamer. Kita memberi karena ingin imbalan dari manusia, demi gengsi, atau jabatan prestise. Kalau yang kita beri kebaikan tak memberikan imbalan, kita pun marah-marah. Sekarang lebih lucu lagi, para penerima kebaikan sekarang sering marah-marah hanya karena sang pemberi kebaikan terlalu tulus dan ikhlas. Mengapa marah ? Karena mereka yang ikhlas tidak mau kebaikannya rusak oleh riya, kesombongan dan pujian manusia. Makanya orang yang ingin menyembunyikan amalnya kini bisa dicurigai.

Seorang guru sufi menjelaskan, kebaikan yang tidak ikhlas, palsu dan penuh trik kejahatan sesungguhnya itulah kebaikan yang membunuh. Mereka seperti memberikan madu, tapi sejatinya racun yang diberikan. Berapa banyak orang yang masuk penjara dan mati hina dina hanya gara-gara menerima suap, uang korupsi dan uang haram lainnya atas nama amal? Memberikan kebaikan dari sumber yang haram sesungguhnya membunuh si penerima dengan cara yang keji.

Tapi dunia memang sudah gila, banyak orang yang berbahagia menerima kebaikan yang bersumber dari sesuatu yang haram. Mereka sudah tidak mau mengaudit lagi dari mana asal usul kebaikan. Sehingga jangan salahkan jika kemudian Tuhan murka dengan caranya sendiri. Jangan pula marah jika Tuhan mencabut berkah-Nya. Akhirnya, semua kembali kepada kita, mau tetap bersih dan ikhlas dalam memberikan kebaikan, atau menjual kebaikan palsu untuk kepentingan kita.***

Indahnya Cobaan

Bisakah yang namanya cobaan dan kesulitan menjadi indah di mata manusia? Kalau melihat kodrat manusia yang tidak mau sulit dan bersusah payah, maka semua hal yang bikin tidak enak pasti dihindari oleh manusia.Jutaan rupiah telah dihabiskan oleh manusia untuk menghindari cobaan dan kesulitan. Sebagian berhasil dan kebanyakan manusia gagal bersahabat dengan cobaan dan kesulitan. Bagi yang berhasil mengatasi cobaan dan kesulitan, ia dikatakan sukses hidupnya. Sebaliknya yang gagal menjalani akan terjerumus dalam kelam, sunyi dan suram. Semua ini akan senantiasa menyertai jalan hidup manusia sampai ajal menjemput. Jadi dimanakah indahnya cobaan?

Seorang guru sufi menjelaskan,cobaan dan kesulitan hakekatnya adalah pil pahit yang menyehatkan bagi manusia. Ia bisa menjadi penyembuh bagi mereka yang masih memaknai hidup adalah semangat dan optimis. Sebaliknya bagi yang sudah menurun semangat hidupnya, diberi pil pahit justru makin parah penyakitnya. Ia akan lunglai dan terjebak dalam kemurungan yang akhirnya hancur hidupnya. Ia menjemput akhir hayat dengan muka kecut dan pedih.Berapa banyak manusia yang tenggelam dalam kehinaan hanya gara-gara gagal bersahabat dengan cobaan dan kesulitan?

Kini makin jelaslah bahwa cobaan dan kesulitan selama menjalani kehidupan akan terasa indah manakala dimaknai sebagai obat. Tak ada yang perlu disesali dan diratapi semua yang telah terjadi. Optimisme adalah bagaimana kita mampu mengubur kepahitan dalam samudra kelapangan untuk menjemput masa depan yang cerah. Terlalu sayang jika hidup yang singkat ini hanya diisi dengan kemurungan, keputusasaan dan semua aktifitas yang membawa kehancuran.

Orang beriman akan terus berjihad mengubah kepahitan menjadi manis. Orang berimana menerima cobaan sebagai lahan amal, karena dengan cobaan tersebut kita bisa bersyukur, bersabar dan banyak meminta ampun. Cobaan dan kesulitan adalah tanda sayang dari Allah kepada hamba-Nya. Kalau begitu semestinya cobaan dan kesulitan makin indah...***

Jumat, 18 September 2009

Muhasabah Cinta

Apa yang membuat semua kehidupan ini demikian harmonis dan indah ? Jawabnya adalah cinta, sebuah kata yang sarat dengan tafsir dan makna. Dengan cinta yang jauh jadi dekat, yang keras menjadi lembut dan yang lemah menjadi kuat. Tentu saja cinta yang diletakkan dalam bingkai rahmat dan ridho Allah, bukan cinta yang dibangun diatas pondasi nafsu syahwat . Cinta dibawah ridho Allah inilah yang akan menemukan keabadian. Ia akan terus menerus bermetamorfosis dan memperbarui dirinya agar terus membawa nikmat bagi manusia. Namun manusia banyak yang salah mempersepsi cinta dan kemudian mengacaukannya dengan nafsu, baik nafsu syahwat, kekuasaan dan ekonomis. Cinta yang semestinya menghidupkan, malah merusak dan mematikan pemiliknya. Ia membakar dan memusnahkan semuanya tanpa menyisakan apapun.Itulah yang termaktub dalam kisah-kisah peperangan antar kerajaan dan negara modern.

Cinta dan kebencian saling berebut ruang untuk menancapkan eksistensinya. Pada awalnya cinta menjadi senjata yang bisa merekatkan hubungan antar manusia. Namun ketika cinta tak sanggup menyatukan perbedaan, maka api permusuhanlah yang datang kemudian. Cinta pun sirna berganti menjadi kebencian yang akhirnya membakar. Ada banyak alasan mengapa kebencian begitu menguasai hati manusia, di antaranya adanya perasaan egois dan merasa lebih dibanding yang lain. Makanya mereka yang hatinya diliputi kebencian dan dendam akan terus melakukan kerusakan, penistaan dan melakukan kekejaman. Bangsa Yahudi dengan negara Israel-nya misalnya akan terus menebar kebencian dan teror kepada bangsa Palestina. Ini buah dari sebuah konstruksi kebencian yang berabad-abad.

Bagaimana dengan kita ? Secara individu, kita dikaruniai potensi cinta dan benci yang harus ditempatkan sesuai dengan ruang dan waktu. Cinta yang bersumber dari Allah harus ditempatkan dalam ruang dan waktu yang sesuai dengan keinginan Allah lewat wahyu-Nya. Ia harus tumbuh dalam ruang hati yang bersih hanya karena Allah, sehingga ketika cinta tersebut dipancarkan akan mendatangkan kemaslahatan kepada semua makhluk. Cinta yang membawa kemaslahatan ini tentu saja tidak akan lahir dari pribadi yang kotor dan hamba hawa nafsu. Cinta yang penuh ketulusan hanya tumbuh dalam pribadi insan beriman, bertauhid dan ma’riftullah. Masih adakah manusia jenis ini ? Tampaknya semakin langka.

Sekarang dunia dipenuhi cinta dan benci yang dipancarkan oleh manusia yang berhati kotor, busuk dan munafik. Orang jenis ini membalut cinta dengan kebencian sehingga cintanya bisa membunuh. Bila cintanya saja dapat membunuh, apatah lagi kebenciannya. Sederetan kasus kriminal yang termuat oleh media massa selalu bermotif asmara. Ini membuktikan betapa cinta yang dibumbui dengan nafsu melahirkan petaka yang tak terbayangkan sebelumnya. Kini semua kembali kepada kita masing-masing, mau memilih yang mana.Setiap pilihan akan selalu membawa resiko, dan dari sanalah kita tahu mana yang paling baik untuk kita.***

Sabtu, 05 September 2009

Gempa Bumi, Isyarat Apa?

Gempa bumi pekan lalu menyisakan banyak derita dan hikmah. Bagi yang tidak beriman peristiwa gempa bumi hanyalah kejadian alam. Sedangkan bagi insan beriman, ada sejuta hikmah yang bisa diambil sebagai ibroh. Orang Islam sudah mengenal gempa sejak zaman Nabi Nuh lewat penuturan Al_Quran, namun pengenalan gempa ini tidak berlanjut menjadi buah kesadaran. Kita selalu telat mengambil ibroh dan hikmah, sehingga gempa tak bermakna apa-apa. Padahal kejadian gempa merupakan isyarat gaib akan datangnya tanda-tanda kemurkaan dan kemurahan Allah. Kita selama ini telah jauh meninggalkan Tuhan sebagai pusat segala aktifitas manusia. Maka gempa ini merupakan isyarat agar manusia kembali ke sang Khalik. ***

Jumat, 28 Agustus 2009

Susahnya Mengingat-Mu

Ya Allah, saat Kau beri aku nikmat, betapa beratnya aku mengingat-Mu. Kini aku dalam kesusahan baru teringat pada-Mu. Sebenarnya aku malu karena hanya mengaduh kala susah. Tapi itulah kelemahanku, maka jangan Kau hukum aku Ya Robbi, sebab aku menanti kehadiran Mu dalam Qolbu. Aku tak bisa jauh dari Mu sebab Engkau yang menggenggam hidup dan matinya makhluk. Dalam ketidakberdayaan ini aku selalu memohon perlindungan, sebab tanpa perlindungan Mu apalah dayaku. Inilah yang bisa aku minta di bulan yang penuh berkah ini. Amin

Kamis, 27 Agustus 2009

Menanti Hidayah

Kegelapan kian mencekam. Tak ada cahaya yang menerangi. Semua menjadi gelap. Karena itu, seberkas cahaya sangatlah berarti bagi mereka yang berada di kegelapan. Hati yang telah bercahaya akan mengusir sang gelap. Inilah orang yang akan tercerahkan mata batinnya.***

Minggu, 23 Agustus 2009

Ramadhan Damai

Ramadhan merupakan bulan yang agung dan penuh berkah. Karena itu, sudah saatnya kita mengisi Ramadhan dengan amalan ibadah. Setiap amal ibadah dilipatgandakan pahalanya, maka akan sangat merugi jika kita lewatkan kesempatan ini. Tak ada waktu lagi kita bertengkar, sebab Ramadhan hanya sebulan. Maka mari kita isi Ramadhan dengan damai, agar berkah dari langit diturunkan. Selamat menunaikan ibadah puasa.!

Selasa, 11 Agustus 2009

Rintihan Sunyi

Mereka yang terperangkap dalam kegelapan kini sedang menggapai cahaya. Tapi sayang mereka yang selalu dalam cahaya mencampakkannya. Orang gelap seolah begitu buruk sehingga mereka layak diawasi dan dijauhi. Mereka yang tercerahkan oleh cahaya kemudian begitu angkuh dan sombong, merasa paling bersih dan seolah surga sudah ditangan. Itulah sebabnya kenapa para pengawal cahaya terang-yang seharusnya memperjuangkan kebaikan- kini berubah menjadi manusia suci. Setiap kata-katanya harus jadi sabda, perbuatannya harus jadi firman. Mereka kemudian menjadi malaikat, malah dalam derajat tertentu mirip Tuhan. Maka akhirnya kebenaran ditafsirkan sepihak, tidak memberikan kesempatan kepada pihak liyan berargumentasi. Inilah manusia-manusia suci yang kini bukannya menebar kebaikan, tapi malah mencetak penjahat-penjahat baru. Kejahatan demi kejahatan terus terulang dan bukannya berkurang. Ini semua bukan salah sang penjahat yang disimbolkan dunia gelap, tapi mereka yang berada dalam cahaya tak meraihnya. Manusia suci berada di menara gading dan tak mau menjangkau bumi.

Ya Allah, Engkau yang maha membolak balikkan hati manusia. Jadikan aku salah satu hamba-Mu yang selalu menebar kebaikan. Namun aku sadar, tidak semua niat baik itu berbuah kebaikan. Maka bimbinglah aku menempuh perjalanan ini agar aku menjadi hamba yang senantiasa bersyukur. Amin.***

Senin, 10 Agustus 2009

Doa-Doaku

Ya Allah, andaikan semua doa semua manusia engkau kabulkan, niscaya hancurlah dunia ini. Tapi sebagai hamba, aku akan selalu berdoa untuk kebaikan diriku. Namun tentu saja ini akan saling bertentangan dengan orang lain. Sebab,orang pun sama punya permintaan yang berbeda. Kalau polisi anti teroris akan berdoa minta dilenyapkan sang teroris. Sebaliknya, kalau teroris pun akan memohon kepada Mu keselamatan dan kesejahteraan. Mereka pun punya keyakinan yang sama bahwa Engkau pasti memberikan rahmat dan ridho. Amin.***

Minggu, 09 Agustus 2009

Sinetron Penembakan Teroris

Densus 88 Anti Teror tampak sudah frustrasi karena perburuannya menemukan Noordin M Top tak kunjung membuahkan hasil. Akhirnya dengan telanjang mata membuat sinetron seolah-olah polisi sudah berhasil menembak mati Noordin. Bernakah fakta ini ? Kalau dilihat dari logika jihad cara polisi ini justru bertentangan dengan akidah para mujahid bom bunuh diri. Kalau polisi densus takut mati itu wajar, sebab ada banyak kemewahan dan fasilitas yang dinikmati oleh mereka. Tapi bagi teroris kematian adalah sesuatu yang indah. Mereka ingin mengejar mati syahid, sehingga kalaupun ada penangkapan dan penggerebekan mereka tidak akan lari. Kemanapun mereka pergi, dalam tubuhnya selalu tersimpan bom yang sewaktu-waktu akan meledak. Lebih baik mati syahid daripada hidup dengan kehinaan karena menjadi kaki tangan kaum kafir Amerika. Itulah motto para mujahid bom. Jadi cara polisi menangkap yang mengesankan Noordin lemah dan tak berdaya adalah sebuah kesalahan logika. Noordin sebagai pemikir dan otak jihad bom tentu tidak akan pernah sendirian. Ia akan dikawal dan dilindungi pengikut setianya. Maka bisa dipastikan penembakan di Temanggung itu hanya sinetron,dan Noordin M Top sekarang sedang tersenyum kecut melihat kejenakaan polisi. "Gue kerjain lho," ujar Noordin dalam hati.Kecanggihan senjata Densus 88 yang semuanya dibiayai Amerika ternyata tak berguna.**

Rabu, 05 Agustus 2009

Menggugat Konsep Solehah

Banyak orang terutama laki-laki yang kurang memahami bahwa pasangan hidupnya itu akan menjadi apa sangat tergantung bagaimana sang lelaki memperlakukannya. Setidaknya itulah kesimpulan dari banyak kasus yang terjadi belakangan ini. Kebencian, kekecewaan, kecemburuan dan semua yang berbau negatif soal pasangan dimulai dari bagaimana sang nakhoda menjalankan biduk rumah tangganya. Makanya, syarat utama sang lelaki yang akan menjadi pemimpin di dalam rumah tangga adalah bagaimana ia bisa memainkan seni kepemimpinan yang indah agar tercipta keharmonisan. Masalahnya sekarang, seni kepemimpinan itu sulit diterapkan karena posisi lelaki dan perempuan saat ini setara dalam kedudukannya di rumah tangga. Bagaimana menyikapi keadaan ini ? Pertanyaan ini tentu saja sangat sulit dijawab.
Tapi sekadar berbagi pengalaman bolehlah. Kita ambil cuplikan kisah perjalanan seorang lelaki asal seberang yang biasa disapa Abang. Sang lelaki yang dikenal garang, angkuh dan sulit gaul ini memang pembawaannya temperamental. Semua orang sungkan dan segan untuk bermusuhan dengannya. Tapi dibalik itu semua, ia sebenarnya punya hati lembut setidaknya kalau melihat penderitaan sesama. Dengan pasangannya pun cenderung romantis dan memanjakan. Dalam memimpin biduk rumah tangganya ia menggabungkan seni keras dan kelembutan sekaligus. Sehingga pasangannya relatif nyaman dan aman, meski kadang tak tahan dengan kekerasan prinsipnya. Apa hasil yang dicapai sang Abang dengan seni memimpinnya itu ?
Pasangan hidup si Abang secara kasat mata memang nyaman dan bahagia. Namun lagi-lagi pasangannya sesekali memantik konflik karena kesetaraan jender tersebut. Definisi istri yang soleha pun menjadi kian kabur. Si Abang menjadi kehilangan pegangan tatkala sang istri mulai melancarkan serangan. Kepemimpinannya digugat sampai ke titik nadir. Apa yang bisa dilakukan si Abang? Ia baru sadar, ke-Solehan itu bukan paket dari Tuhan, melainkan hasil pendidikan dan perjalanan manusia dalam menemukan nilai universal yang difirmankan Tuhan. Menjadi solehah ternyata membutuhkan sejumlah pengorbanan, waktu, kesabaran dan keteladanan. Seolehah dengan demikian bukan sekadar nilai pribadi tapi nilai bersama karena ia hanya bisa tumbuh dalam lingkungan yang mendukung.
Si Abang itu bisa jadi Anda, atau mungkin Aku sendiri. Andaikan si Abang itu aku, yang pertama aku sadari adalah ternyata sekarang yang namanya lelaki dalam rumah tangga bukan satu-satunya sumber wibawa, fatwa dan keteladanan. Dalam konsepsi Al-Quran, lelaki itu pemimpin (Qowam) terhadap kaum perempuan, dalam realita lelaki hari ini tak lebih sekadar pelengkap. Kondisi ini diperparah oleh kualifikasi Qowam yang masih belum jelas rinciannya. Ini menambah masalah jadi rumit terutama ketika berhadapan dengan perempuan yang karena kekuatan jendernya melakukan perlawanan terhadap dominasi lelaki. Konsepsi solehah selama ini dipersepsikan dengan prilaku yang anggun, taat kepada suami, mau mendengar nasihat dan indah dipandang oleh lelaki yang punya kualitas Qowam. Ini semua hilang begitu kesetaraan dipahami dalam konteks melawan kepemimpinan lelaki yang menjadi pasangannya. Padahal dalam Islam, suami yang boleh tidak ditaati itu bilamana ia mengajak ke arah maksiat dan menentang Allah.
Entahlah zaman sedang berbalik. Kalau ada orang lelaki yang hidupnya benar, sesuai dengan syariat Allah dijadikan musuh bersama. Tapi kalau ia salah, menuruti jalan syetan asal sesuai dengan pemikiran orang umum diberi pernghargaan. Kalau ada suami yang taat beragama, istrinya dihasut dengan pemikiran anti agama. Ajaran Islam dihujat dan dimaki agar pasangan suami istri ragu dengan agamanya. Begitu seterusnya hingga rusaklah bangunan sakral rumah tangga Islami. Para muslimah yang solehah, taat kepada suami ditakut-takuti dengan dampak poligami yang menyeramkan. Padahal justru yang menyeramkan adalah dampak zina bebas yang telah melahirkan penyakit HIV/AIDS.
Muslimah solehah saat ini akan diam seribu bahasa melihat maraknya seks bebas dimana-mana. Seolah –olah perbuatan seks bebas itu tidak berdampak pada murka Allah. Padahal dalam budaya seks bebas itu ada anak-anak kita yang harus dilindungi. Ada masyarakat kita yang harus dijauhkan dari prilaku yang merusak tersebut. Tapi coba kita lemparkan wacana poligami, muslimah solehah versi modern akan berteriak lantang menentang keras seraya menyebutkan dampaknya. Ribuan buku ditulis yang semuanya menyudutkan poligami. Jumlah bukunya jauh lebih banyak daripada buku yang membahas dalam seks bebas.
Makanya, menjadi solehah pada abad pertengahan tercermin dalam kita “Ngudulujain” yang menceritakan bagaimana suami istri saling mencintai dibawah naungan ridho Allah. Namun solehah saat ini dialihkan kepada bagaimana pasangan suami istri saling memusuhi dibawah komando Syetan. Jadi boro-boro mengejar keluarga sakinah, mawadah dan rahmah, sekadar hidup nyaman pun sulit. Kita dibuat saling curiga dan tidak percaya dengan pasangan. Kalau sudah begini, siapa yang akan bertanggungjawab? ***

Ketika Bom Bertasbih

Bom ditangan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah merupakan ungkapan bertasbih kepada Allah. Pada dimensi ini bom ditempatkan sebagai alat melindungi diri dan agama Allah yang diinjak orang-orang kafir. Sedangkan jika bom ditangan kaum kafir jahat yang menebar maut, bom menjadi monster yang akan mencabut nyawa secara paksa. Maka memaknai kejahatan sebuah bom harus diletakkan dalam kosntruksi siapa subyek yang melakukan pengeboman. Malah orang kafir bisa menjadikan bom sebagai alibi untuk mengkambing hitamkan kaum penyembah Allah. Serangan 11 September merupakan cikal bakal makar kaum kafir untuk menuding umat Islam. Dengan menempatkan Osama bin Laden sebagai otak peledakan WTC, itu sama artinya dengan mencitrakan Islam pelaku teroris.
Tidak setiap kekerasan itu berdimensi kejahatan, meski secara umum setiap kejahatan mengandung kekerasan. Demikian pula kelembutan tak selamanya berdimensi kebajikan, sebab kejahatan bisa bersembunyi dalam kelembutan.
Logika ini pun berlaku dalam kasus peledakan bom, yang tentu saja sarat makna, sebab dibalik aksi peledakan bom itu terkandung ribuan kepentingan yang tersembunyi. Maknanya tentu saja hanya diketahui oleh sang pelaku, sedangkan yang menonton dan menjadi korban hanya bisa menafsirkan. Namun diatas segalanya yang terhebat adalah “otak atau dalang” yang merekayasa dan menyusun skenario peledakan bom yang memanfaatkan pemain-pemain lugu tapi bernyali besar. Sebab, tidak semua aksi teror bom itu murni kepentingan sang operator, ada juga disana kepentingan sponsor. Bahkan aparat keamanan yang menangkap para teroris pun hanya menjalankan perintah sponsor dari bangsa asing. Demi sponsor itulah sebenarnya kita kemudian menggadaikan kedaulatan bangsa. Kita hanya memenuhi pesanan sponsor supaya dipuji dan kemudian diberi fasilitas.
Mengapa semua ini bisa terjadi ? Kita memang bangsa yang senang membeo, gampang kagum dengan bangsa asing. Semua yang berbau asing, apalagi dari negeri Amerika, pasti ditelan mentah-mentah termasuk salah satunya adalah cara berpikir Amerika. Kita tidak punya kemandirian ekonomi dan politik. Yang mengenaskan lagi adalah kita tidak punya kebebasan berpikir menurut tradisi Indonesia. Sehingga semua produk pemikiran khas Amerika dipakai untuk memandang dan menganalisis situasi Indonesia. Yang paling mutakhir masalah terorisme. Kosakata teror dan teroris itu produk pemikiran Amerika yang lahir pasca serangan 11 September. Padahal sekeras apapun aksi kejahatan di Indonesia tidak pernah dijerat dengan undang-undang terorisme.Tapi sejak Amerika mendesakkan wacana terorisme kita pun membeo dan membebek dengan menerbitkan undang-undang terorisme dan membentuk Densus 88 Anti Teror yang merupakan “pasukan pemburu teroris” yang dilatih dan didanai Amerika. ****

Senin, 03 Agustus 2009

Nggak Enak Jadi Tertuduh

Andiakan aku bukan teroris kemudian orang menuduhku teroris, itu adalah fitnah dan teror. Tapi kalau aku seorang teroris bangga dengan pemberitaan media massa yang semua menyorot bekas peledakan. Yang menyakitkan, kegiatan pengebomanku ditunggani dengan kepentingan orang lain yang tidak ada kaitan dengan misi pengeboman. Mereka mendompleng dalam aktifitas jihad bunuh diri, padahal sejatinya mereka hanya mengambil manfaat. Begitulah rintihan hati seorang teroris yang diwawancara secara imajiner. Selebihnya terserah anda bagaimana menafsirkan sebuah misi peledakan bom. ***

Jumat, 31 Juli 2009

Mengapa Jadi Teroris

Pilihan menjadi teroris merupakan hak asasi, meskipun secara HAM juga melanggar hak asasi orang lain.Sebab sebutan teroris berasal dari musuh bukan penamaan dari pelaku. Bagi pelaku, ia menyebut dirinya seorang pejuang, pahlawan dan mujahid. Yang mentenarkan dan yang merasa terganggu dengan aktifitas terorisme adalah kepentingan Amerika dan Israel, sang maestro penebar maut dan teror.Dengan demikian, dalam sudut pandang pelaku bisa dimaknai bahwa bom dan aktifitas terorisme merupakan bentuk perlawanan atas hegemoni penjajah. Para pakar menyebutkan bahwa dorongan orang menjadi teroris dipengaruhi oleh ideologi dan keyakinan. Padahal dalam kenyataannya, masalah ideologi dan keyakinan itu tidak mutlak. Yang mutlak adalah bahwa pelaku teroris merepresentasikan diri sebagai orang yang tidak kuat diperlakukan tidak adil, tertindas dan dizalimi dalam jangka panjang. Maka tidak ada jalan lain kecuali melawan. Hanya satu kata melawan itulah ideologinya,ini diandaikan pelaku teroris bukan pemain bayaran Amerika atau Israel yang disewa untuk menutupi kejahatan Amerika dan Israel.

Makanya teroris akan terus mendapat simpati dari penduduk dunia yang negaranya ditindas, dijajah dan diinjak-injak martabatnya. Mata rantai jaringan teroris akan terus terjalin selama penjajahan modern terus berlangsung. Inilah yang tidak dipahami oleh produser kejahatan teroris Amerika dan Israel. Selama Palestina, Afghanistan dan Irak membara oleh penjajahan, maka sampai kapan pun bom bunuh diri akan meledak. Mereka berhak melindungi diri, martabat dan tanah airnya. Ini harga mati yang harus ditebus dengan darah dan nyawa. Akhirnya, kita yang ada di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar harus bisa menempatkan diri. Jangan kita latak mengikuti arus pemikiran Amerika yang anti Islam, kecuali jika kita menjadi antek-antek penjajah. ****

Terorisme Diberantas ?

SBY dalam koran Kompas edisi Jumat (31/7/ 2009)memerintahkan agar terorisme diberantas. Mungkinkah terorisme diberantas? Secara kasat mata tampaknya tidak mungkin aparat kepolisian Indonesia mampu memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya. Mengapa ? Selama ini terorisme dipahami sebagai aksi sepihak, padahal teror yang terjadi di Indonesia itu merupakan reaksi heroik atas ketidaksetujaun kelompok radikal terhadap pemimpin Indonesia yang pro penjajah.

j

Selasa, 28 Juli 2009

Jadi Tukang Bom Itu Indah

Siapa yang megatakan bom bunuh diri itu menyiksa diri? Pasti hanya orang kafir yang takut dengan bom bunuh diri. Bagi seorang muslim yang membela agama Allah dengan jihadnya, bom merupakan sarana menjemput mati syahid. Bom adalah kenikmatan sejati, maka menjadi tukang bom itu indah bila dikaitkan dengan jihad. Melawan kaum kafir yang bersenjata lengkap jelas tidak bisa hanya dengan diplomasi meja, tapi mereka perlu dilawan dengan diplomasi bom. Melawan Yahudi Israel dan kepentingan Amerika di negeri sejuta masjid ini adalah jihad akbar. Jadi kita tidak perlu takut mati karena ledakan bom, sebab di kamar tidur juga orang bisa mati bila ajal mejemput.

Karena itu, kini semakin jelas mereka yang mengolok pelaku jihad bom layak dipertanyakan keimanannya. Bagaimana mungkin kita berdamai dengan kaum kafir seraya mengolok dan menjatuhkan martabat umat Islam. Pasti hanya mereka yang menjadi "inlander" penjajah saja yang senang umat Islam dtindas dan dilibas. Kita sudah salah memahami masalah,sehingga kita mati rasa ketika melihat saudara seiman di Palestina dibantai secara keji oleh Yahudi. Tidak ada jalan lain kecuali kita harus menghancurkan semua tatanan yang dibangun bangsa Yahudi. Hanya jihad yang akan menghadang kekejaman Yahudi dan Nasrani.

Inilah yang sebenarnya hilang dari umat Islam. Ruh jihad kita kendur sehingga tak sanggup melawan musuh. Sampai kapan kita akan terus begini? Jangan gadaikan iman kita hanya untuk menjilat penjajah. Ingat janji Allah yang yang akan memberikan surga kepada hamba-Nya yang membela Allah.***

Bom Korupsi

Kalau ada bom meledak, kita panik dan telunjuk kita saling menuding. Tapi kalau anggaran publik diteror oleh para koruptor yang mengempalng dana rakyat kita diam seribu bahasa. Padahal dampak korupsi dengan bom di Mega Kuningan jauh lebih bahaya korupsi sebab yang diledakkan adalah anggaran pembangunan. Jadi jangan-jangan yang memanfaatkan isu bom adalah para koruptor yang enggan bertanggungjawab. Mereka mendompleng pada momentum peledakan bom. Padahal mereka yang merobohkan pondasi pembangunan, tapi mereka cuci tangan dan menuding Noordin M Top sebagai biang teroris. Kepada Noordin M Top kita ucapkan selamat atas kepintarannya, tapi sayang bom Anda ditunggangi para komprador negara. Nilai jihad Anda yang membela agama dikotori oleh kepentingan ekonomi politik koruptor. Makanya para koruptor kini tidur nyenyak, sedangkan Ketua KPK Nonaktif Antasari kini sedang kesepian. Dan bisa ditebak kelak SBY-Boediono akhirnya hanya akan jadi kaki tangan penjajah Amerika yang gencar melawan teroris versi mereka sendiri.Kasian juga rakyat kita!.

Senin, 27 Juli 2009

Bom dan Islam

Bom bisa meledak oleh siapa saja dan dimana saja.Termasuk yang meledak di Mega Kuningan Jakarta. Pelakunya tidak harus muslim, sebab yang namanya kegiatan peledakan bom itu universal. Meledakkan bom adalah bahasa ungkapan atas perasaan tertindas, terzalimi dan terpinggirkan. Jadi tidak adil kalau semua sorotan diarahkan kepada kaum muslim, sebab di Irlandia yang mayoritas Kristen juga sering terjadi kekerasan dan terorisme. Maka yang bijak adalah menempatkan peledakan bom sebagai peristiwa biasa dan tidak mesti dikatakan teroris. Lihatlah bagaimana kejamnya Israel membantai muslim Palestina. Kenapa Israel tidak dihukum dengan kejahatan terorisme? Mengapa Amerika diam seribu bahasa melihat kejahatan teror Israel atas bangsa Palestina. Mengapa kejahatan Amerika menganeksasi Irak tidak disebut sebagai tindakan terorisme? Lalu mengapa kita bangsa Indonesia membeo dan jadi bangsa penurut mengikuti order Amerika? Jangan-jangan pemimpin kita adalah komprador penjajah Amerika..

Sabtu, 23 Mei 2009

Menulis Kunci Jadi Wartawan

Pindah sekolah merupakan awal yang menyiksa setidaknya pada hari pertama. Pagi itu suasana demikian cerah dan teduh. Pasalnya MTs Al-Huda Bandungbaru dikepung rerimbunan pohon bambu. Itulah sebabnya upacara bendera setiap hari Senin pun terasa tidak panas. Semua siswa-siswi seolah dimanja oleh alam sekitar sekolah. Makanya aku ikut terbawa arus sekolah. Bubar upacara semua siswa masuk kelas termasuk aku sebagai siswa pindahan. “Anak-anak, hari ini kalian dapat teman baru. Silakan kenalan dan anggap dia teman yang mengasyikkan,” ujar Kepala MTs Al-Huda, Bapak Romli mengawali perkenalan. Satu persatu siswa-siswi kelas 2 berkenalan denganku. Sayangnya, di antara sekian banyak teman sekelas yang paling aku ingat adalah Joko Sungkono, sang juara kelas yang selalu diunggulkan.
Melihat sepak terjang Joko, aku berkesimpulan bahwa Joko merupakan salah satu siswa multi talenta. Ia pintar secara akademik juga giat dalam kegiatan ke-pramuka-an. Namun dibalik itu, ia ternyata tidak trampil dalam tulis menulis, sehingga diam-diam aku mengisi kelemahan dia dengan mengorbitkan diri sebagai penulis. Awal-awal aku menulis diary, kemudian memuat karya dalam majalah dinding dan selebihnya menuangkan tulisan lewat surat menyurat. Setiap ada tulisan aku perlihatkan kepada teman-teman untuk dinilai dan diapresiasi. Mereka menjadi kritikus tulisanku. Ini dimaksudkan agar aku makin percaya diri.
Dari sini rasa percaya diri terus tumbuh dan berkembang. Berbagai peristiwa dan kejadian bisa menjadi inspirasi dan tema karya tulis. Dari seputar isu sekolah, teman-teman, pramuka dan hasil renungan dari hasil bacaan. Makanya semua direkam dialam bawah sadar agar kelak bisa dituangkan ke dalam tulisan. Namun sayang, kala itu ruang publikasi sangat terbatas. Jumlah koran dan majalah pun zaman Orde Baru jumlahnya hitungan jari. Makanya karya tulis diterbitkan secara indie label lewat fotocopi. Disebar antar teman dan selebihnya ditempel di majalah dinding.
Begitulah hari-hariku selama masa studi satu tahun setengah di MTs Al-Huda Bandungbaru. Aku sangat berhutang budi dan jasa kepada teman-teman yang telah menyediakan waktu menjadi kritikus. Atau mereka yang selalu memberikan inspirasi lewat persahabatan dan kekeluargaan. Atau mereka uang mencoba membuka kompetisi dalam prestasi dan keunggulan personal. Dari mereka aku belajar dan mendapatkan pencerahan tentang arti sebuah perbedaan status sosial dan persamaan kemanusiaan. Persahabatan yang demikian hangat tanpa sekat kaya miskin, suku dan karakter turut membentuk kepribadianku dalam menuangkan karya tulis. ***

Menulis itu Indah..

Untuk bisa menulis tidak harus menjadi wartawan. Tapi untuk jadi wartawan mutlak harus bisa menulis. Maka orang yang senang dan menjalani kerja lewat karya tulis peluangnya besar untuk menjadi wartawan sejati. Kalau akhirnya aku menerjuni dunia kewartawanan, itu semata-mata berkah dan hikmah dari kegemaran menulis serta bergaul dengan orang-orang berilmu dan beramal soleh. Tanpa jasa mereka aku tidak akan menjadi apa-apa, sebab kehidupan tak memberikan kesempatan emas untukku. Maka hidup bersama orang yang menjunjung tinggi keilmuan terasa dalam manfaatnya. Begitulah yang aku alami selama menjalani masa studi di MTs Sukoharjo.
Tanpa terasa pergulatan di rumah orang tua asuh menumbuhkan hobi dan bakat menulis. Setiap hari aku membaca dan menulis, sehingga tiada hari tanpa menulis. Yang pertama aku tulis adalah gelinjang kata hati. Apapun yang aku rasakan semua kutuliskan di buku harian, sebab buku harian kala itu merupakan satu-satunya media mencurahkan kegundahan. Masa kreatif menulis ini seperti mendapatkan lahannya setalah Kiyai Sutarto, yang juga anak H.Idris memberikan dorongan. “Kamu berbakat nak, saya yakin kelak kamu akan jadi orang yang sukes,” begitu ucap Kiyai Sutarto memberikan semangat.
Maka aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Semua buku koleksi Kiyai Sutarto aku lahab, mulai dari bahasa arab, akidah, filsafat, tafsir, hadits dan yang paling aku adalah buku-buku tasawuf. Bahkan kitab Al-Hikam karya Ibu Athoillah setiap waktu aku telaah dan sebagian diambil intiasarinya. Sebagian isinya ditulis dalam catatan harian, dan sebagian lagi dijadikan bahan amalan bersama zikir khas tarekat Naqsabandiyah dan Wahidiyah. Usia SMP sejatinya belum boleh mempelajari ilmu Tasawuf, tapi aku sudah mendalami dan mengikuti riyadhoh. Dari sini aku mendapatkan banyak pelajaran dari perenungan dan pengembaraan rohani. Begitu asyiknya, sampai aku lupa atas semua derita harian yang dirasakan oleh ragaku. Imajinasi liarku pun makin tak terbendung. Rupanya bakat intelektual kepenulisanku terendus guru bahasa Indonesia di MTs ,Bapak Nazarudin, alumni IKIP Yogyakarta.
Guru yang dikenal sederhana dan rendah hati ini diam-diam memberikan semangat tatkala pelajaran apresiasi sastra. Ia banyak cerita orang-orang yang sukses dengan karya besarnya, salah satunya Chairil Anwar. Bahkan ia memberikan contoh karyanya dalam menulis cerpen dan puisi. Sebenarnya aku saat itu kurang memahami semua penjelasan beliau, namun substansi dari pelajaran beliau meresap dalam benakku. Ya, aku harus membuktikan bahwa menulis karangan apapun bentuknya merupakan lahan kehidupan. Begitu kesimpulanku setiap kali Bapak Nazarudin menerangkan pelajaran Bahasa Indonesia. Mungkin inilah jasa beliau menyiapkan diriku menjadi penulis.
Dukungan di rumah tinggal H.Idris yang menyediakan banyak koleksi buku dan kitab serta dorongan guru di sekolah telah melahirkan energi baru. Setidaknya aku mampu mensinergikan kekuatan tersebut menjadi sebuah kreatifitas. Maka tak heran jika majalah dinding selalu diisi karya tulisku, dan kala itu betapa bangganya karyaku dibaca oleh teman-teman berbagai kelas. Hari-hari sekolah menjadi hari yang menyenangkan sebab setiap karya tulisku selalu mendapatkan sambutan. Sayangnya masa indah dalam kepenulisan di MTs Sukoharjo harus berakhir setelah ada insiden pemukulan guru M.Yasin kepadaku. Hari itu setelah kalah berdebat, pak Yasin marah dan memukulku yang berujung dengan perang dingin hingga aku keluar dan pindah ke MTs Al-Huda Bandungbaru, Lampung. Aku meninggalkan teman dan guruku yang telah memberikan banyak inspirasi kepenulisan. Peristiwa ini memacuku agar terus berkarya. Aku makin bersemangat menulis apa saja yang selalu mengganjal dihati. Semua aku tulis demi sebuah sebuah idealisme dan jihad. ***

Jumat, 15 Mei 2009

Ditengah Derita, Awal Jadi Wartawan

Pada tahun 1983 kondisi rumah tangga pasangan Sumaji-Nurkhasiani berada dalam bahaya dan morat marit. Setidaknya itu kesan yang aku tangkap sebagai anak kecil yang baru kelas 2 SD. Sebagai anak kecil, aku bermimpi akan mendapatkan semuanya, terutama kasih sayang dari ibu tiri dan ayah. Namun impian itu harus buyar dan kandas. Sebab Sumaji, yang tak lain ayahku sendiri sejak menikah yang kedua kurang perhatian kepada anak yang dulu. Ia serahkan semua kepada mamak (ibu) tiri yang kala itu sangat tidak peduli. Setiap pagi mau berangkat ke sekolah, aku harus menyalakan tungku dan merebus air dan kadang membuat sarapan sendiri. Bajuku pun kusut dan lusuh. Setrika arang yang biasa dipakai menyetrika jarang dipakai untuk menyetrika bajuku. Sepatu juga jarang dibelikan, sehingga kadang aku sekolah dengan bersandal dan seringnya “nyeker” (tanpa alas kaki).
Bahkan sampai celana seragamku sobek dan rusak, mamak Nur, pun masih cuek. Sampai suatu ketika celana yang sobek itu dijahit oleh ibu Sujatman, yang tak lain ibunya Indrawati, teman sekelas. Pokoknya aku seperti anak yang tidak terurus, kurus dan kusut. Makan tidak teratur dan setiap sekolah tidak bisa jajan karena tidak diberi bekal uang jajan. Sudah segala dicueki, sepulang sekolah aku masih dapat tugas mencari kayu bakar. Setiap sore aku ke kebun mencari kayu bakar, begitu seterusnya sampai aku kelas 6 SD. Itupun kadang aku harus menerima hardikan, kemarahan dan kejengkelan. Mamak benar-benar menjadi bos. Itu terjadi di saat anak pertama Asnuri Yusuf masih bayi dan aku pun jadi jongosnya.
Perlakuan kasar dari Mamak Nur itu demikian menyayat dan membekas dalam hati. Dan lama-lama aku menyimpulkan bahwa sebenarnya Mamak tidak sayang kepadaku. Ya, ia tidak sayang sebab apapun yang dilakukannya selalu meneror dan menyakiti aku. Tidak ada niat dia memberikan pendidikan kepada anaknya. Itulah sebabnya aku akan memberikan pelajaran kelak kemudian hari, begitu suara hatiku. Aku sering menangis dan meratap, tapi tidak bisa mengadu ke ayah Sumaji sebab ia pasti tidak akan mendengar. Aku punya catatan buruk tentang ibu tiri, itu mengendap hingga aku memutuskan tidak mau diasuh lagi oleh Mamak Nur. Ditambah lagi adikku Hafiatus Sania pun harus merasakan perlakuan sama hingga ia memilih tidak sekolah. Dan terakhir adikku Nurkholis, ternyata tak beda jauh nasibnya dengan aku yang lebih dulu disakiti.
Tiada hari tanpa penderitaan. Maka untuk melepaskan kepenatan dan kejenuhan bersama mamak Nur, aku memilih berpisah. Daripada sengsara di negeri sendiri bersama ibu tiri, lebih baik sengsara bersama orang lain. Akhirnya setamat SD, aku memutuskan ngenger (ikut orang) di rumah Mbah H. Idris. Rupanya Allah mendengar doaku, aku akhirnya diterima sebagai anak asuh di Mbah Idris. Inilah momentum titik balik yang merubah semua jalan hidupku. Secara fisik, aku sebenarnya sangat lelah, sebab selama di Mbah Idris kerjaan rutinku adalah mengurus peternakan ayam yang jumlahnya mencapai ribuan ekor. Tapi itulah harga yang harus aku bayar demi bisa sekolah di MTs Sukoharjo. Disinilah aku dibuat sangat sibuk sekali tapi justru aku punya keleluasaan berimajinasi tentang masa depan. Di kandang ayam yang luas itu aku bisa membayangkan bakal jadi apa aku ini.
Salah satu bayangan cita-citaku kala itu adalah kelak aku akan jadi orang yang menguasai dunia. Dan guru bahasa Indonesiaku memberikan gambaran bahwa orang yang disebut raja dunia itu wartawan atau jurnalis. Mereka menguasai informasi maka mereka menggenggam dunia. Itulah pertama aku berani membangun kepercayaan diri bahwa nasibku barada ditanganku, sedang bapak dan ibu asuh hanya menghantarkan sampai ke pintu gerbang perubahan. Aku merasakan langsung, selama tiga tahun bersama bapak dan ibu asuh inilah aku mengalami banyak pengayaan keilmuan, karena di rumah bapak asuh ada koleksi ratusan buku dan kitab klasik. Setiap ada waktu senggang, habis mengaji Quran dan mejahadah (zikir bersama), aku membaca buku sampai tamat. Tanpa terasa semua buku sudah dibaca semuanya.
Dari kebiasaan banyak membaca, aku pun mulai mencoba menggapai asa dengan latihan menulis. Aku menggantung asa bahwa kelak aku akan menjadi penulis unggul seperti Buya Hamka dan Muhammad Natsir. Makanya aku selalu menyiapkan buku harian untuk menulis semua peristiwa untuk menjadi bahan inspirasi menulis. Kemudian semua tulisan di buku harian aku transfer idenya untuk mengembangkan tulisan baik opini, berita maupun feature. Tak sengaja akupun menerjuni dunia wartawan alias jurnalis. Inilah titik balik kehidupanku kelak.***

Anak Desa Jadi Wartawan

Kisah yang ditulis ini merupakan catatan sepenggal perjalanan wartawan senior di Ciamis, Ahmad Mukhlis,S.Ag. Publik selama ini mengenal dia sebagai jurnalis yang tajam penanya dan berani melawan arus kemapanan. Sosoknya yang tahan banting dan siap mengambil resiko membuatnya mudah dikenal berbagai kalangan. Pokoknya selama menekuni dunia jurnalistik, ia sudah kenyang dengan berbagai ancaman, teror dan bahkan pernah dilaporkan ke polisi. Kiprahnya telah menginspirasi orang-orang muda yang menerjunkan diri ke kancah pertarungan jurnalistik. Jam terbangnya sudah tinggi, tapi ia justru makin rendah hati. Kepada yang tua menghormati, kepada yang muda membimbing dan kepada yang sejajar ia merangkul.
Bahkan ia termasuk salah satu jurnalis yang multitalenta, setidaknya ia bisa memainkan berbagai jurus dalam waktu bersamaan. Malah ia dikenal manusia seribu wajah, diluar karir jurnalis yang identik dengan keahlian menulis, ia juga seorang dosen, aktifis, wiraswatawan, pekerja kreatif, ustad dan pelatih spiritual. Kemampuan ini didapatkan kebanyakan lewat otodidak, kecuali bidang keagamaan, ia dapatkan melalui pendidikan di pesantren dan sekolah keislaman. Ia punya daya juang dan dorongan jihad yang tinggi sehingga tidak pernah merasa lelah menjalani aktifitas apapun. Selamat menyimak.***
Pagi itu, tepatnya pada tahun 1970 embun pagi terasa dingin. Pepohonan nan rindang dan suara burung berkicau bersahutan menambah suasana pagi kian khas pedesaan. Desa Enggalrejo, yang terletak dipinggiran kota Kecamatan Sukoharjo itu memang pedesaan yang masih sunyi penduduknya. Hamparan padang ilalang dan pepohonan lainnya mendominasi lahan, sehingga deretan rumah penduduknya tidak kelihatan. Di sebuah gubuk yang dibangun di antara rindang pepohonan, hiduplah sepasang suami istri. Suami yang baru berusia 20 tahun itu disapa dengan panggilan Sumaji dan istrinya Sukarti. Sebagai pengantin baru, keduanya mengawali kehidupan dengan bercocok tanam dan kadang bekerja mengangkut padi dengan sepeda kumbang. Setahun menjalani rutinitas bertani dilalui dengan bahagia, karena pada tahun itu pasangan ini dikarunia anak perempuan yang lucu. Cantik dan menawan, kata orang desa. Maka lengkaplah kebahagiaan pesangan muda tersebut, sebab secara materi tidak kekurangan, sebab sang istri adalah anak saudagar kaya. Namun cobaan datang, bayi perempun itu dipanggil yang maha kuasa pada saat usia lucu-lucunya.
Dari sinilah pasangan muda tersebut mulai terguncang jiwanya. Mungkin tidak siap menerima cobaan, pasangan suami istri itu mulai kendor dalam bercocok tanam. Sumaji banting stir ke “manol” (ojek sepeda ontel kala itu) untuk mengankut berbagai hasil bumi. Dari usaha manol ini, ia mulai bisa menabung dan terus berdoa ingin punya anak lagi. Siang malam ia berdoa bersama istrinya agar diberikan anak lagi. Rupanya doa keduanya dikabulkan oleh Allah SWT. Sang istri hamil dan sembilan kemudian melahirkan anak laki-laki pada tanggal 10 Agustus 1973. Bayi mungil itu tampak lucu dan belimpah kasih sayang, karena semua anggota keluarga menyayangi bayi tersebut.
Seperti adat Jawa-Lampung, selama 7 malam bayi tersebut ditirakati dalam ritus muyen (begadang menjaga bayi ramai-ramai). Dalam ritus itu semua tetangga berdatangan, ada yang sekadar begadang, ada yang mengaji dan ada yang sekadar menikmati hidangan. Pusat perayaan jatuh pada hari ke tujuh dengan upacara barzanji (baca sholawat) dan cukuran rambut. Berbagai hidangan dan segala macam makanan khas desa disajikan. Tak lupa daging aqiqah disantap ramai-ramai. Semua ikut berbahagia menyambut kehadiran sang bayi. Wajah-wajah bahagia turut mendoakan sang bayi tersebut yang belakangan diberi nama Ahmad Mukhlis. Menurut bahasa Arab, kata Mukhlis berarti orang yang ikhlas. Sumaji, sebagai ayah berdoa semoga kelak anaknya menjadi orang yang benar-benar ikhlas.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan kemudian berganti tahun tak terasa bayi tersebut bertumbuh kembang hingga punya tiga adik, yakni Kasmiatun, Hafiatus Sania dan Nurkholis. Mungkin inilah puncak dari semua. Kehidupan indah yang dijalani pasangan Sumaji dan Sukarti ternyata mulai redup. Dengan beban empat anak rumah tangga mereka goyah. Pendapatan dari pekerjaan “manol” sudah tidak mencukupi. Dalam suasana kalut dan tak menentu ekonomi ini, Sumaji pindah menjadi tukang bangunan. Sejak itu, Sumaji sering merantau ke luar desa mencari pekerjaan membangun rumah. Ia mulai jarang pulang dan akhirnya jarang komunikasi karena zaman itu kendaraan masih susah.
Sang istri dengan empat anak kewalahan mengurusnya. Sementara suami bekerja di luar desa dan hanya pulang setelah dapat bayaran kerja. Begitu seterus sampai suatu ketika Sukarti sebagai istri menyerah mengurusi anak sendirian. Pertengkaran sudah tak terhindarkan lagi, sampai akhirnya berlanjut kepada perceraian, tepatnya tahun 1980-an. Ini titik balik yang merusak semua masa indah anak-anaknya. Empat anak dibagi dua, Ahmad Mukhlis dan Kasmiatun ikut neneknya serta Hafiatus Sania dan Nurkholis tetap bersama ibunya. Sementara Sumaji kembali berkelana dan menekuni dunia pertukangan. Dan pada tahun 1982, Sumaji tertambat hatinya dengan janda tanpa anak Nurkhasiani, keduanya pun menikah. Dari pernikahan kedua ini Sumaji dikaruniai enam anak, yakni Asnuri Yusuf, Marfuatin Muthoharoh, Nurul Maslikhah, M.Fajrun Najah Ahmadi, M. Fajrun Najah Ansori (kembar) dan yang bungsu M. Fajrul Fallah.
Pernikahan kedua Sumaji disangka solusi yang akan membawa bahagia. Ternyata sebaliknya, kesengsaraan demi kesengsaraan terus bertubi-tubi. Anak-anak bertambah sementara penghasilan terus merosot seiring dengan sepinya order pekerjaan bangunan. Badan mulai sakit-sakitan sehingga tidak produktif lagi. Tapi meski demikian, Sumaji pun mengalami banyak perubahan, setidaknya uang selalu ada hanya salah manajemen. Akibatnya berapapun uang yang diterima selalu habis untuk konsumsi tidak ada yang digunakan untuk investasi usaha. Maka bisa ditebak, anak-anaklah yang jadi korban. Biaya sekolah tidak terbayar sebab semua habis tak bersisa. ***(Bersambung Coy)

Sabtu, 09 Mei 2009

Siapa Aku:Renungan Seorang Wartawan

Dalam pepatah Arab seorang filosof berkata” “Barangsiapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”. Pepatah ini mengandung makna sebelum manusia ma’rifatullah terlebih dahulu harus ma’rifatunnafsi. Ma’rifatunnafsi adalah sebuah proses mengenal diri atau mengenal sang aku. Sejak pertama manusia diciptakan ia sudah mengalami problem dengan sang aku. Minimal untuk mengindentifikasi aku manusia menggunakan banyak parameter dan persepsi diri. Dan yang kemudian diaktualkan sebagai aku kadang bukan benar-benar aku seperti yang dikehendaki sang pencipta. Tapi aku ego yang merasa serba bisa dan serba berkuasa, sehingga aku semacam ini gagal melakukan ma’riftullah.

Untuk mendapatkan gambaran aku yang sebenarnya aku pun melakukan renungan soal anatomi tubuhku dan jiwaku yang didalamnya ada kehendak. Ya kemudian aku menarik benang merah bahwa sebutan aku adalah sebuah sebutan tentang individu yang melambangkan keseluruhan unsur individu yang meliputi jiwa dan raganya. Namun demikian hingga kini tetaplah misteri eksistensi aku dalam konteks kesemestaan ini. Begitu juga dalam konteks manusia sendiri aku seringkali menjadi dilema. Yang paling sederhana adalah mempertanyakan jati diri aku dan fungsiku di dunia. Pastilah Tuhan ciptakan manusia ada tujuan dan fungsi yang diemban.

Sebagaimana manusia aku selalu bertanya siapakah aku dan untuk apa aku diciptakan. Pertanyaan ini seringkali sulit dijawab tanpa melakukan perenungan mendalam terhadap zat yang maha segalanya. Sungguh setiap aku bertanya siapa aku yang muncul adalah persepsi dan gambaran pribadiku yang mungkin bukan aku yang sebenarnya. Aku selalu menampilkan topeng wajahku sebab aku memang tak mengenal diriku. Ini mungkin hasil dari konstruksi persepsi yang diberikan kepadaku dari dunia luar. Akupun melakukan pengembaraan ke dalam diri untuk mengenali apa sebenarnya hikmah penciptaan diriku. Aku mulai mencari jawaban atas pertanyaan untuk apa aku diciptakan oleh yang maha kuasa.

Kemudian aku cari jawabannya lewat wahyu. Dalam Al-Quran Allah berfirman: “Sesungguhnya tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah,”. Dalam ayat yang lain Allah menjawab pertanyaan manusia untuk apa diciptakan dengan firman: “Sesungguhnya Aku ciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi”. Kata khalifah dalam bahasa Arab diterjemahkan sebagai wakil, pengelola, pemimpin, dan pengayom. Ya secara tersirat aku diciptakan tentu saja tidak jauh dari makna tersebut. Hal itu diperkuat lagi oleh hadits Nabi Muhammad : “Sesungguhnya setiap kamu adalah pemimpin, dan kelak kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinanmu di akherat.”

Dengan demikian sejak di alam azali aku sudah diberi amanah oleh sang pencipta agar menjadi khalifah di semua lini kehidupan. Aku memang diberi kebebasan memilih oleh sang Pencipta, tapi tetap saja melekat amanah sebagai wakil Tuhan yang harus mengelola alam dan menciptakan kedamaian. Dalam tugas itulah sekali waktu aku harus menjadi seorang negosiator, provokator, dai, leader, dan sekali waktu menjadi orang biasa. Peran ini kadang berjalan bersamaan sesuai dengan ruang dan waktu. Ya aku demikian sempurna diciptakan Allah. Dari sinilah aku mengenal Allah (Ma’rifatullah) sebagai sang maha pencipta.

Aku akhirnya menjadi manusia seribu wajah karena demikian banyak peran dan fungsi atas keberadaanku di dunia. Namun diatas segalanya, aku ternyata hanyalah seorang hamba yang wajib mengabdikan seluruh hidup dan matiku hanya untuk Allah. Statemen ini tentu saja sulit aku deklarasikan jika aku tak mengenal diri sendiri sebagai pintu mengenal Allah. ***

Wartawan Juga Manusia

Berapakah gaji standar wartawan yang berstatus pekerja tetap? Menurut penelitian, gaji ideal yang bisa mencukupi kebutuhan minimum wartawan Rp 3,5 juta. Tapi kenyataannya gaji wartawan yang bekerja di media massa besar masih dibawah itu. Ini sebenarnya tidak sebanding dengan resiko pekerjaan yang membahayakan dan menghabiskan waktu. Meski demikian masih banyak wartawan yang menerima gaji apa adanya, sebab masih banyak peluang mencari tambahan pendapatan. Caranya tentu saja dengan menjual nasib agar pihak ketiga membantunya. Ini sudah bukan rahasia lagi, hampir sebagian besar wartawan menjalankan pekerjaan ganda dalam satu waktu. Ini masih bisa dimengerti oleh logika ekonomi dan sosial.

Yang parah dan sulit dicerna akal adalah eksploitasi wartawan. Ada ribuan wartawan yang statusnya bukan karyawan, tapi diberi kartu pers. Ia ditugasi bekerja tapi tidak pernah dibayar apalagi digaji tetap. Mereka dibiarkan mencari penghidupan sendiri sembari setor ke perusahaan penerbitan koran. Sepintas ini tidak manusiawi, sebab ada unsur eksploitasi. Namun kadang masuk akal juga kalau melihat yang direkrut jadi wartawan jenis ini adalah mereka yang standar kompetensi dibawah standar. Kemampuan mereka juga sudah sulit dinaikan karena terbentur dengan segala keterbatasan.

Saya memberikan sebutan kepada pekerja lepas ini sebagai “wartawan wirausaha” yang hidup dengan menjual berita kepada narasumber dan pihak terkait. Dilapangan terbukti daya tahan survival-nya wartawan jenis ini memang luar biasa. Meski tak dipungkiri ada juga cerita miring dan negatif yang dialamatkan kepada mereka, diantaranya rendahnya karya jurnalistik mereka. Tapi banyak juga sisi positif yang bisa dipetik, yakni bahwa wartawan wirausaha bisa mencetak uang untuk kelangsungan hidupnya. Setidaknya mereka jadi kreatif menciptakan peluang baru untuk kiprahnya.

Terlepas dari itu semuanya, ada benang merah yang bisa ditarik yakni adanya kesenjangan ekonomi yang demikian mencolok antar wartawan. Yang bergaji tetap setiap bulan aman, kalau sakit ada asurasni kesehatan, kalau celaka ada asuransi kecelakaan dan kalau mau pensiun ada tunjangan hari tua. Sebaliknya, wartawan wirausaha, kalau sakit, celaka dan menjadi tua semua ditanggung sendiri. Disinilah seorang wartawan dituntut punya pandangan jauh ke depan agar tidak masuk jebakan. Ya, wartawan juga manusia, kadang sakit kadang sehat, kadang tidak punya uang tapi sekali waktu juga banyak uang.

Alhamdulillah, dua suasana yang kontradiktif itu saya sudah mengalami. Saat bekerja di surat kabar lokal di Priangan Timur, pertama menjadi tenaga lepas tanpa honor, kemudian dapat honor dasar dan tulisan kemudian bergaji tetap. Semua saya syukuri sebagai anugrah, namun nikmat itu kemudian saya tinggalkan dan beralih frekwensi ke jalur wirausahawan jurnalistik. Hasilnya ternyata mengejutkan, dijalur lepas banyak kemungkinan yang sulit terduga. Maka hanya kreatifitaslah yang menyelamatkan orang-orang wirausaha. ***

Antara Idealisme dan Kebutuhan

Impian apakah yang tertinggi dalam hidup seorang wartawan ? Pertanyaan itu terus mengiang dalam benak saya tatkala melakukan muhasabah. Bayangkan, semua orang yang berjubah wartawan telah menjual semua yang ada dalam tubuhnya. Mengapa? Karena oreintasi pekerjaan diarahkan untuk mendapatkan imbalan materi, yang pada zaman ini menjadi sumber kebahagiaan. Wartawan yang bergaji maupun wirausahawan berita sama-sama menggadaikan idealismenya untuk meraih kebahagiaan materi. Maka sudah dipastikan mereka yang menggendong idealisme, semangat jihad dan perbuatan mulia akan mati langkah sebab ia diasingkan oleh sesama.
Mungkin saya adalah salah satu orang yang harus menanggung beban akibat idealisme. Setidaknya idealisme untuk tetap menjaga muruah (marwah), martabat dan harga diri dalam mencari sumber pendapatan. Idealisme yang saya tegakkan adalah bagaimana agar setiap rezeki yang saya terima itu tetap terbebas dari syubhat (samar-samar),halal, dan diijabqobuli dengan tetesan keringat. Ini tentu saja sangat berat sekali, sebab peluang perkeliruan di dunia wartawan sangat terbuka. Setiap orang yang bermasalah dan berpotensi menjadi obyek pemberitaan baik positif atau negatif berpeluang menghasilkan uang. Selama semua sesuai dengan prosedur, memang tidak masalah.
Namun ketika yang akan diekspos berita negatif, pastilah narasumber akan melakukan penyuapan, rayuan, dan iming-iming imbalan agar berita negatif tidak ditayangkan. Jumlah uangnya menggiurkan untuk kasus semacam ini, maka banyak sang wartawan yang akhirnya takluk dan mengibarkan bendera putih. Dan ketika wartawan tidak mau menerima pemberian suap, berikutnya narasumber akan melakukan intimidasi dan kekerasn fisik. Ini biasanya dialami wartawan idealis yang tidak mempan disuap. Namun sekarang posisi sudah berbalik, wartawan super pragmatis memanfaatkan peluang ini untuk mendapatkan uang. Mereka mengancam, menakut-nakuti dan mengintimidasi narasumber agar disuapi uang.
Dalam situasi yang demikian kacau dan tak beretika itu, saya sendirian berjuang mempertahankan prinsip bahwa siapapun dia,- baik atau buruk orangnya-tidak pernah saya persoalkan selama ia bisa diajak sharing bisnis profesional. Artinya orang tersebut mau bekerjasama saling menguntungkan secara bisnis dan halal secara syariah Islam. Sebab ini murni hubungan muamalah, dengan begitu semua sama-sama enak dan nyaman. Sayangnya, mempertahankan prinsip itupun ternyata tidak sepenuhnya dianggap benar oleh relasi dan masyarakat pembaca media cetak. Setidaknya saya sendiri merasa sunyi dan susah mendapatkan peluang kerjasama. Mengapa? Inilah pertanyaan retoris saya.
Mungkin saja ini imbalan kehidupan untuk mendewasakan diri karena telah gila membawa idealisme. Tapi tidak apalah, semua saya terima dengan lapang dada dan tetap bahagia, sebab ini karunia dan tarbiyah dari Allah agar tetap waspada. Lebih banyak nikmat yang saya terima dibandinkan dengan kesusahan yang menimpa, setidaknya dengan menjalani profesi wartawan secara benar dan bersih mendatangkan banyak saudara dan persahabatan. Inilah harta satu-satunya seorang wartawan. Dan sudah dari sananya, wartawan itu dalam strata sosial kurang mendapatkan tempat, kecuali wartawan yang sudah menjadi bos, pemegang saham media cetak dan pimpinan tertinggi. Ya, wartawan liputan tak ubahnya prajurit, kalau berhasil tidak dipuji, kalau gagal dicaci maki dan kalau mati tidak dicari. ***

Rabu, 06 Mei 2009

Cara Gila Jadi Wartawan !

Kalau anda masih waras, yakinlah anda tidak akan mau jadi wartawan. Mengapa? Saat ini citra wartawan sedang kusut dan cemar, karena profesi yang mulia ini dikotori oleh nafsu serakah dan tamak para pelakunya. Semua orang yang mengaku wartawan, seolah berlomba dalam keserakahan baik dalam urusan dunia maupun kekuasaan lahan. Namun sayang, mereka yang adu otot dan kekuatan itu tidak memiliki kompetensi memadai. Sehingga bukannya dihargai oleh pihak lain, melainkan justru dilecehkan, direndahkan dengan suap receh dan tidak ada marwah dalam diri wartawan. Anehnya banyak wartawan yang nyaman-nyaman saja dikungkung oleh suasana yang merendahkan martabat ini.
Maka tak ada jalan lain, kalau anda ingin jadi wartawan harus gila dulu biar kebal disakiti dan dizalimi tapi tetap punya harga diri. Bagaimana caranya menjadi gila? Gilanya seorang wartawan adalah memainkan kombinasi jurus ketajaman pena dan keahlian membaca tanda-tanda zaman. Kemampuan membaca situasi dalam setiap zaman menjadi mutlak sebab setiap fase kehidupan selalu menyertakan tantangan yang berbeda. Ketajaman pena tidak akan merubah keadaan manakala tidak tepat dengan momentum zaman yang sedang dilalui.
Kehebatan seorang wartawan muncul sesuai dengan tantangan zamannnya, karena itu musim keemasan setiap orang selalu berbeda. Pada saat masyarakat muak dan kesal dengan prilaku pejabat pemerintahan, maka tulisan yang berani dan konfrontatif dengan kebijakan pemerintah akan diapresiasi publik. Wartawan akan menjadi pahlawan dimata masyarakat dan dianggap musuh oleh orang pemerintahan. Sebaliknya pada saat hubungan masyarakat dengan pemerintah harmonis, wartawan yang menulis kebobrokan pemerintah akan dimusuhi masyarakat dan kroni penguasa.
Pada posisi interaksi semacam inilah wartawan harus pandai menempatkan diri. Kalau wartawan pragmatis dan haus materi, ia akan mengekor, menjilat dan melacurkan harga diri kepada penguasa untuk mendapatkan imbal jasa. Ia berada diketiak penguasa menjadi anjing penjaga yang setia. Pola ini yang sekarang banyak dianut oleh “wartawan instan” karena motivasi bekerjanya memang demi perut sendiri. Maka tidak heran jika Dewan Pers dalam penelitiannya menemukan data bahwa 70 persen wartawan yang sekarang beroperasi tidak layak jadi wartawan beneran karena kualifikasi dan kompetensinya dibawah standar. Bagaimana dengan wartawan karir yang menjaga integritas kerja dan idealismenya? Jenis wartawan ini cenderung dijauhi meski karya jurnalistiknya berkualitas dan mencerahkan. Mereka yang punya idealisme sekarang dimarjinalkan dari pergaulan, sebab dianggap makhluk aneh.(Bersambung coy…?)***

Sabtu, 02 Mei 2009

Musim Booming Wartawan

Masa keemasan wartawan dalam penghidupan adalah ketika Orde Baru berkuasa. Kebebasan pers memang dibatasi namun wartawan menikmati kebebasan finansial, sebab ada jaminan kesejahteraan. Yang diuntungkan terutama wartawan pro pemerintah. Sebaliknya sebagian wartawan yang kritis dan berpuasa saat Orde Baru, menyambut Orde Reformasi dengan berbunga-bunga karena pada saat itu lahir UU Pers No.40/1999. Undang-undang ini menjamin kebebasan setiap warga negara mendirikan penerbitan pers. Inilah awal “booming” media massa dan wartawan, sebab undang-undang ini dianggap sebagai peluang pekerjaan dengan jaminan kebebasan pers.
Momentum “booming” ini telah melahirkan ratusan penerbitan media massa yang melibatkan ribuan wartawan. Maka tidak mengherankan kalau belakangan banyak orang tiba-tiba menjadi wartawan tanpa standar kompetensi yang memadai. Seolah semua serba bebas, sehingga banyak orang eksodus ke jalur wartawan. Maka bila sekarang ini ada ribuan wartawan yang berkeliaran, bisa dipastikan setengahnya adalah wartawan yang terjun bebas. Wartawan jenis inilah yang kini menguasai dunia persilatan, mereka menggunakan baju wartawan, tapi jiwa dan habitatnya bukan wartawan. Karena itu, pasar dunia pers semakin tidak kompetitif karena diisi oleh mereka yang bukan pemain sejati.
Sekali lagi tumbuh suburnya wartawan terjun bebas itu bukan semata-mata karena keterdesakan sebuah kebutuhan. Namun akibat iklim dan regulasi pemerintah yang demikian longgar. Selain itu, prilaku masyarakat dan pemerintah yang semakin bebas melakukan pelanggaran aturan juga mendorong suburnya wartawan terjun bebas. Maraknya kasus pemerasan oleh wartawan, adalah bukti bahwa ada sebagian dari anggota masyarakat yang terlibat dalam kesalahan. Sebab ternyata berdasarkan fakta, wartawan tidak akan pernah bisa memeras kalau seseorang itu tidak punya kesalahan. Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh mereka yang senang memamerkan kekuatan seorang wartawan.
Mengapa situasi semacam ini bisa terjadi ? Karena booming wartawan tidak diikuti dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai. Banyak penerbitan media massa yang mengekploitasi SDM wartawan untuk keuntungan, Namun perusahaan penerbitan tersebut tidak memberikan imbal balik yang sesuai standar kebutuhan minimal. Hampir sebagian besar wartawan kinis statusnya freelance. Mereka dipekerjakan tanpa ikatan kekaryawanan, sehingga wartawan akhirnya mengandalkan jurus masing-masing untuk mempertahankan hidupnya. Salah satu jurus yang bermodal kecil adalah dengan “mencari mangsa” yang diperkirakan bakal menghasilkan uang. Inilah yang dilakukan wartawan yang skill bisnisnya rendah. Tapi sekali lagi, wartawan tidak hidup diruang hampa, ia tumbuh dan berkembang bersama lingkungannya. Kalau lingkungannya baik ya baik pula prilakunya. Sebaliknya kalau setiap hari wartawan melihat keburukan ya ia bisa menjadi wartawan yang buruk. Interaksi ini akan

Akhirnya, penulis menyadari prilaku negatif mereka yang mengaku wartawan itu dipengaruhi banyak faktor. Yang paling utama adalah masalah ekonomi atau kesejahteraan. Hubungan kerja wartawan dengan perusahaan bisnis media massa selama ini tidak sepenuhnya mengacu kepada undang-undang tenaga kerja, sebab dalam definisi profesi seorang wartawan itu bukan buruh tapi seorang profesional. Ia sama dengan dosen, pengacara dan pekerja profesional lainnya. Ia mendapatkan imbalan sesuai dengan jasa yang diberikan kepada perusahaan dan masyarakat. Makanya bagi wartawan yang bekerja di perusahaan media besar, otomatis pendapatan dan kesejahteraannya diatas rata-rata, sebab kompetensi dan kualifikasinya tinggi.
Sebaliknya wartawan yang bekerja di perusahaan media dengan omzet kecil, kesejahteraannya juga rendah. Dan biasanya perusahaan sejenis ini memang tidak mempersyaratkan kualifikasi yang ketat dan kompetensi yang tinggi. Maka produk dan standar pekerjaannnya juga dibawah media beroplah besar. Disinilah problem mulai muncul dan bertabrakan tatkala wartawan harus mengaktualisasikan dirinya dalam pergaulan sosial. Ada yang tampil percaya diri dan ada juga yang harus tampil seadanya sesuai dengan kondisi masing-masing. Diakui atau tidak, kesenjangan ekonomi antar wartawan pun demikian mencolok yang akhirnya memicu persaingan yang tidak sehat. Situasi ini memang tidak mengenakkan, tapi semua mengalir sesuai dengan irama. Inilah sekilas potret kecil dunia wartawan dari masa ke masa.
Pada akhirnya semua kembali kepada diri masing-masing. Yang jelas menjadi wartawan semestinya adalah panggilan jiwa agar profesi ini tidak disalahgunakan untuk tujuan yang merusak tatanan. Sebab dalam profesi ini ada kemuliaan yang menentukan martabat seseorang dalam menjalani karir seorang wartawan.***

Selasa, 28 April 2009

Wartawan Oh Wartawan..?

Di suatu pagi surat kabar lokal menurunkan berita berjudul “Enam Wartawan Ditangkap Polisi”. Dalam berita tersebut ditulis, enam wartawan ditangkap karena kedapatan sedang memeras kepala sekolah yang mendapatkan rehab gedung. Menurut kepala sekolah, pihaknya merasa tidak punya salah tapi wartawan terus memaksa minta uang. Sebaliknya wartawan “keukeuh” sang kepala sekolah bersalah karena bangunan rehab tidak sesuai dengan RAB. Polisi tidak mau tahu, yang jelas dengan dalih apapun pemerasan adalah pidana murni. Setelah diselidiki ternyata baik wartawan maupun kepala sekolah ternyata dalam posisi sama-sama salah, setidaknya dari fakta yang terjadi. Mereka yang mengaku wartawan ternyata membarter kasus dengan uang dan kepala sekolah juga tidak menjalankan RAB secara benar.
Bagaimana mengomentari berita diatas? Siapakah yang harus dipersalahkan? Persepsi masyarakat yang membaca berita diatas jelas akan memberikan stigma negatif kepada wartawan dulu. Pasalnya kepala sekolah posisinya sebagai korban. Biasanya kita akan memberikan toleransi kesalahan kepada yang menjadi korban meski salah. Buktinya begitu berita itu turun, ratusan guru bersatu mau menghajar sang wartawan. Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat sekarang. Ya orang salah dengan orang salah berkolusi untuk mendapatkan keuntungan materi. Dan ternyata jarang sekali orang yang benar kerjaannya jadi korban pemerasan wartawan.
Ini hanya salah satu contoh kasus yang menggambarkan betapa rumitnya memberikan penilaian obyektif dari sebuah interaksi antara wartawan dengan narasumber. Malah belakangan ini banyak keluhan dan hujatan yang dialamatkan kepada wartawan. Ada yag membenci, memaki dan bahkan mengancam wartawan, sebab memang ada wartawan yang galak dan kritis dengan tulisan. Namun banyak juga wartawan yang galak mulutnya tapi tangannya jarang menulis. Yang membikin dunia persilatan “riweuh” saat ini adalah wartawan jenis terakhir ini, galak mulutnya tapi tumpul tulisannya. Masyarakat memberikan julukan beragam kepada wartawan jenis ini antara lain WTS (wartawan tanpa surat kabar), wartawan Bodrek, wartawan Uka-uka, dan wartawan Muntaber (muncul tanpa berita). Julukan ini muncul tentu saja untuk memberikan respon prilaku wartawan yang tidak punya kompetensi jurnalistik dan tidak memegang teguh etika profesi. Masyarakat tidak tidak salah memberikan julukan ini sebab memang ada faktanya wartawan yang bergentayangan memburu rupiah.
Namun tidak adil hanya gara-gara ini kita kemudian memberikan penilaian sepihak bahwa semua wartawan kerjaannya negatif dan merugikan. Di antara wartawan yang buruk prilakunya itu masih banyak wartawan sejati yang menjalankan profesinya dengan jujur, taat aturan, memegang teguh etika jurnalistik dan memberikan kontribusi positif kepada pembangunan. Wartawan jenis inilah yang akan menjadi sahabat, ia bisa memperingatkan sekaligus memberikan solusinya. Tulisannya mencerahkan dan inspiratif sehingga masyarakat mendapatkan tambahan ilmu dan wawasan.
Sayangnya wartawan jenis ini belum diakomodir secara baik karena terlanjur kita berprasangka buruk. Kita sudah apriori duluan sehingga banyak peluang kerjasama yang hilang tanpa manfaat apapun. Padahal kalau kita bisa menempatkan wartawan yang bersahabat ini ke dalam ranah pekerjaan kita, ia akan turut membangun kinerja positif. Setidaknya pencitraan diri yang positif akan terbangun, dengan begitu kemitraan antara wartawan dan narasumber sama-sama saling menguntungkan. Ini yang hilang dari ranah kehidupan kita, sebab kita sudah menempatkan wartawan dalam posisi bermusuhan dan tidak bersahabat.
Diluar itu tentu saja ada banyak sudut pandang untuk memetakan dunia wartawan, bisa sudut pandang agama, ekonomi, sosial, politik, hukum, entertain, dan kemanusiaan. Pasalnya, pekerjaan wartawan memang bersentuhan dengan semua ranah kehidupan. Maka wartawan pun menjadi apa yang dipikirkan pelakunya, ia bisa menjadi apa saja sesuai dengan standar hidup yang dibuatnya. Tapi diatas itu semua, bahwa wartawan adalah manusia biasa bisa salah dan benar sesuai dengan ruang dan waktu.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, perjalanan wartawan juga mengalami pasang surut sesuai dengan perubahan oreintasi pers. Diantaranya dari oreintasi perjuangan mengarah kepada bisnis industri media massa. Oreintasi ini jelas mengimbas pula kepada wartawan sebagai salah satu pilar penopang kehidupan pers. Pers bisnis menuntut wartawan selain pandai melakukan kontrol sosial juga harus bisa menjual pesan dibalik pemberitaan. Sebab, pers telah melebar menjadi alat promosi, informasi, hiburan dan sarana silaturahmi. Suasana ini demikian terasa pada saat Orde Baru berkuasa, sehingga kala itu kesejahteraan wartawan meningkat tajam. Wartawan pun sejajar dengan pegawai lainnya dan hidup layak. Meskipun kala itu kebebasan pers dipasung, tapi semua yang terlibat bisnis penerbitan hidupnya sejahtera.
Maka tak heran pada masa ini persepsi masyarakat kepada wartawan sangat positif sebab wartawan waktu itu menjadi makhluk langka. Selain jumlahnya memang sedikit, perusahaan media massa juga terbatas. Hanya perusahaan yang benar-benar bermodal yang sanggup menjalankan bisnisnya. Makanya tidak ada masyarakat yang mengeluh apalagi memperkarakan wartawan. Wartawan menjadi profesi yang prestise sebab seleksi untuk menjadi wartawan juga sangat ketat. ***

Minggu, 19 April 2009

Catatan Seorang Caleg

Menjadi calon legislatif (caleg) sebenarnya bukan tujuan hidupku. Namun ia adalah etape perjalanan yang harus aku lakukan untuk menemukan jati diri dan menggapai tujuan yang lebih besar. Makanya tatkala teman, sahabat dan keluarga memberikan dorongan menjadi caleg akupun mencobanya. Meskipun akhirnya hasilnya jauh dari harapan dan tentu saja aku tidak akan bisa duduk di di DPRD Ciamis. Catatan yang harus direnungkan dari kegagalan ini adalah sistem pemilu. Sebenarnya secara filosofis sistem pemilu dengan suara terbanyak sesuai dengan nafas demokrasi. Namun tidak semua orang sanggup berkompetisi dalam iklim tarung bebas. Terutama caleg yang baru manggung dan kurang uang harus bertarung dengan mereka yang incumbent dan punya modal. Atau antara caleg yang populer dengan caleg tidak tenar. Ini semua menjadi problem berat bagi caleg.
Yang aku alami justru kekonyolan, selain miskin finansial aku pun harus bertarung dengan caleg incumbent, maka wajar jika kalah dan mendapatkan suara kecil. Masyarakat seolah sudah tidak jeli dan matanya tertutup sehingga tidak bisa lagi membedakan orang. Aku harus menerima kenyataan pahit ini dengan lapang dada. Setidaknya hanya itu yang bisa aku lakukan. Memang secara hitung-hitungan kerugian materi, tenaga dan pikiran sudah tak terkirakan lagi. Tapi itulah nilai sebuah pengorbanan untuk sebuah perubahan. Ya intinya yang mahal adalah perubahan, sebab perubahan tidak datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan dengan segenap cucuran keringat dan air mata.
Pemilu harus menjadi ajang mengasah ketajaman nalar kritis untuk memulai perubahan, untuk lingkungan terkecil hingga bangsa. Inilah sebenarnya yang harus aku camkan agar tidak larut dalam kerugian. Bagi mereka yang baru belajar kerugian itu adalah beban. Namun bagiku kerugian itu merupakan bagian investasi untuk ke depan. Makanya semua aku tempatkan dalam koridor usaha agar tidak larut dalam kecemasan yang tiada tepinya. Akhirnya semua memang harus dimulai dari diri sendiri. Bagaimana aku bisa merubang bangsaku jika aku sendiri tidak mampu merubah diri sendiri.
Inilah sekadar catatan dan renungan pasca pemilu. Aku berharap pemilu kali ini menjadi bahan evaluasi oleh semua pihak. Aku yakin begitu banyak orang yang terlibat dalam hajatan pemilu ini. Ada yang memaknai pemilu sebagai ajang mencari keuntungan, kekuasaan dan ada pula yang justru ajang menebar ketakutan. Ya semua kembali kepada diri kita masing-masing. Wallahu’alam***

Created by Ahmad Mukhlis, caleg no 1 dari Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI) Kab.Ciamis.

Jumat, 17 April 2009

Pemilu Membawa Maut

Pemilu kali ini bukan hanya memakan harta tapi juga nyawa. Pekan lalu seorang caleg asal PKB Kota Banjar, Sri Hayati (23) ditemukan gantung diri. Wanita yang tengah hamil 4 bulan itu tak kuat menahan malu karena hanya meraih 10 suara. Reaksi masyarakat pun aneka ragam, namun semuanya menyesalkan meskipun masyarakat juga yang bikin caleg tersebut bunuh diri. Bayangkan betapa jahatnya permainan politik uang. (Mukhlisaljawi@yahoo.co.id)

Senin, 13 April 2009

Sinyal dari Langit

Bila ajal telah datang, ia tidak bisa diakhirkan. Begitulah firman Allah SWT yang termaktub dalam Al-Quran. Semua makhluk hidup akan mengalaminya, tak terkecuali dengan manusia. Maka kepergian wartawan almarhum Ade Kodar Solihat merupakan bagian dari sunatullah yang mengandung sejuta hikmah dan itibar bagi kita semua. Setidaknya ini sinyal dari langit bahwa esok akan ada hari kemudian disanalah waktu terpanjang kita mempertanggungjawabkan semua amal selama di dunia. Semoga segala kebaikan saudara kita Ade Kodar Solihat dicatat sebagai amal dan kekhilafannya diampuni Allah SWT.
Ini adalah catatan kesan seorang kawan seperjalanan dalam jurnalistik. Sebagaimana kawan-kawan wartawan yang lain, Ade Kodar Solihat adalah sosok yang humoris. Karena sikapnya yang humoris itu ia pun menekuni karir jurnalistik bidang hiburan dan olah raga. Selama menjadi “wirausaha” berita di Koran IMSA, semua karya jurnalistiknya kebanyakan hiburan, artis dan olahraga. Makanya ia punya jaringan luas di kalangan seniman, olahraga dan artis lokal. Ia jarang menulis berita politik dan pemerintahan, makanya nama dia dalam peta silat wartawan lebih dikenal seorang seniman.
Dan sebagai sosok wirausaha jurnalistik ia memang sangat militan dan pantang menyerah. Pasalnya di Koran IMSA berlaku falsafah, setiap wartawan adalah juragan bagi dirinya sendiri. Ini yang membuat semua wartawan IMSA berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya. Mengapa demikian ? Koran IMSA didirikan bukan sebagai perusahaan industri media massa, tapi ia merupakan kawah candradimuka yang menempa calon wartawan menjadi sosok wirausaha jurnalistik. Tak heran keluaran Koran IMSA yang kini menguasai peta pemberitaan di Ciamis punya energi simpanan. Ade Kodar Solihat setidaknya telah membuktikan dirinya bagian dari sosok wirausaha jurnalistik ini, sebab selama hidupnya ia belum pernah mendapatkan kucuran proyek dari pemerintah. Ia hidup dengan caranya sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya, tanpa mengeluh dan meratapi nasibnya.
Ade Kodar Solihat seolah memberontak keadaan, tapi ia tak kuasa merubah keadaan bahkan hingga ajal menjemputnya. Ia sering curhat kenapa keadaan selalu memarjinalkan sosok wirausaha jurnalistik semacam dirinya? Kenapa untuk mendapatkan apresiasi pemerintah harus menghamba diri? Dan masih banyak pertanyaan sejenis yang sebenarnya juga dialami semua wartawan yang memperjuangkan kesejahteraannya dengan tangannya sendiri. Semua pertanyaan itu bisa dijawab kalau PWI bisa menjadi wadah bersama memperjuangkan nasib wartawan. Akhirnya maafkan kami kawan atas ketidakberdayaan kami. Ini menjadi pelajaran bagi kami bahwa ke depan jangan sampai ada wartawan seperjuangan yang harus mengalami nasib tanpa jaminan apapun. Kita memang harus kuat dan tegar berdiri diatas kaki sendiri, tapi ke depan wartawan harus mulai menata hidupnya agar kesejahteraannya meningkat. Selamat jalan kawan, semoga Allah menerima semangat pengabdianmu. Amin. (Mukhlisaljawi@yahoo.co.id)