Sabtu, 09 Mei 2009

Siapa Aku:Renungan Seorang Wartawan

Dalam pepatah Arab seorang filosof berkata” “Barangsiapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”. Pepatah ini mengandung makna sebelum manusia ma’rifatullah terlebih dahulu harus ma’rifatunnafsi. Ma’rifatunnafsi adalah sebuah proses mengenal diri atau mengenal sang aku. Sejak pertama manusia diciptakan ia sudah mengalami problem dengan sang aku. Minimal untuk mengindentifikasi aku manusia menggunakan banyak parameter dan persepsi diri. Dan yang kemudian diaktualkan sebagai aku kadang bukan benar-benar aku seperti yang dikehendaki sang pencipta. Tapi aku ego yang merasa serba bisa dan serba berkuasa, sehingga aku semacam ini gagal melakukan ma’riftullah.

Untuk mendapatkan gambaran aku yang sebenarnya aku pun melakukan renungan soal anatomi tubuhku dan jiwaku yang didalamnya ada kehendak. Ya kemudian aku menarik benang merah bahwa sebutan aku adalah sebuah sebutan tentang individu yang melambangkan keseluruhan unsur individu yang meliputi jiwa dan raganya. Namun demikian hingga kini tetaplah misteri eksistensi aku dalam konteks kesemestaan ini. Begitu juga dalam konteks manusia sendiri aku seringkali menjadi dilema. Yang paling sederhana adalah mempertanyakan jati diri aku dan fungsiku di dunia. Pastilah Tuhan ciptakan manusia ada tujuan dan fungsi yang diemban.

Sebagaimana manusia aku selalu bertanya siapakah aku dan untuk apa aku diciptakan. Pertanyaan ini seringkali sulit dijawab tanpa melakukan perenungan mendalam terhadap zat yang maha segalanya. Sungguh setiap aku bertanya siapa aku yang muncul adalah persepsi dan gambaran pribadiku yang mungkin bukan aku yang sebenarnya. Aku selalu menampilkan topeng wajahku sebab aku memang tak mengenal diriku. Ini mungkin hasil dari konstruksi persepsi yang diberikan kepadaku dari dunia luar. Akupun melakukan pengembaraan ke dalam diri untuk mengenali apa sebenarnya hikmah penciptaan diriku. Aku mulai mencari jawaban atas pertanyaan untuk apa aku diciptakan oleh yang maha kuasa.

Kemudian aku cari jawabannya lewat wahyu. Dalam Al-Quran Allah berfirman: “Sesungguhnya tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah,”. Dalam ayat yang lain Allah menjawab pertanyaan manusia untuk apa diciptakan dengan firman: “Sesungguhnya Aku ciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi”. Kata khalifah dalam bahasa Arab diterjemahkan sebagai wakil, pengelola, pemimpin, dan pengayom. Ya secara tersirat aku diciptakan tentu saja tidak jauh dari makna tersebut. Hal itu diperkuat lagi oleh hadits Nabi Muhammad : “Sesungguhnya setiap kamu adalah pemimpin, dan kelak kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinanmu di akherat.”

Dengan demikian sejak di alam azali aku sudah diberi amanah oleh sang pencipta agar menjadi khalifah di semua lini kehidupan. Aku memang diberi kebebasan memilih oleh sang Pencipta, tapi tetap saja melekat amanah sebagai wakil Tuhan yang harus mengelola alam dan menciptakan kedamaian. Dalam tugas itulah sekali waktu aku harus menjadi seorang negosiator, provokator, dai, leader, dan sekali waktu menjadi orang biasa. Peran ini kadang berjalan bersamaan sesuai dengan ruang dan waktu. Ya aku demikian sempurna diciptakan Allah. Dari sinilah aku mengenal Allah (Ma’rifatullah) sebagai sang maha pencipta.

Aku akhirnya menjadi manusia seribu wajah karena demikian banyak peran dan fungsi atas keberadaanku di dunia. Namun diatas segalanya, aku ternyata hanyalah seorang hamba yang wajib mengabdikan seluruh hidup dan matiku hanya untuk Allah. Statemen ini tentu saja sulit aku deklarasikan jika aku tak mengenal diri sendiri sebagai pintu mengenal Allah. ***

Wartawan Juga Manusia

Berapakah gaji standar wartawan yang berstatus pekerja tetap? Menurut penelitian, gaji ideal yang bisa mencukupi kebutuhan minimum wartawan Rp 3,5 juta. Tapi kenyataannya gaji wartawan yang bekerja di media massa besar masih dibawah itu. Ini sebenarnya tidak sebanding dengan resiko pekerjaan yang membahayakan dan menghabiskan waktu. Meski demikian masih banyak wartawan yang menerima gaji apa adanya, sebab masih banyak peluang mencari tambahan pendapatan. Caranya tentu saja dengan menjual nasib agar pihak ketiga membantunya. Ini sudah bukan rahasia lagi, hampir sebagian besar wartawan menjalankan pekerjaan ganda dalam satu waktu. Ini masih bisa dimengerti oleh logika ekonomi dan sosial.

Yang parah dan sulit dicerna akal adalah eksploitasi wartawan. Ada ribuan wartawan yang statusnya bukan karyawan, tapi diberi kartu pers. Ia ditugasi bekerja tapi tidak pernah dibayar apalagi digaji tetap. Mereka dibiarkan mencari penghidupan sendiri sembari setor ke perusahaan penerbitan koran. Sepintas ini tidak manusiawi, sebab ada unsur eksploitasi. Namun kadang masuk akal juga kalau melihat yang direkrut jadi wartawan jenis ini adalah mereka yang standar kompetensi dibawah standar. Kemampuan mereka juga sudah sulit dinaikan karena terbentur dengan segala keterbatasan.

Saya memberikan sebutan kepada pekerja lepas ini sebagai “wartawan wirausaha” yang hidup dengan menjual berita kepada narasumber dan pihak terkait. Dilapangan terbukti daya tahan survival-nya wartawan jenis ini memang luar biasa. Meski tak dipungkiri ada juga cerita miring dan negatif yang dialamatkan kepada mereka, diantaranya rendahnya karya jurnalistik mereka. Tapi banyak juga sisi positif yang bisa dipetik, yakni bahwa wartawan wirausaha bisa mencetak uang untuk kelangsungan hidupnya. Setidaknya mereka jadi kreatif menciptakan peluang baru untuk kiprahnya.

Terlepas dari itu semuanya, ada benang merah yang bisa ditarik yakni adanya kesenjangan ekonomi yang demikian mencolok antar wartawan. Yang bergaji tetap setiap bulan aman, kalau sakit ada asurasni kesehatan, kalau celaka ada asuransi kecelakaan dan kalau mau pensiun ada tunjangan hari tua. Sebaliknya, wartawan wirausaha, kalau sakit, celaka dan menjadi tua semua ditanggung sendiri. Disinilah seorang wartawan dituntut punya pandangan jauh ke depan agar tidak masuk jebakan. Ya, wartawan juga manusia, kadang sakit kadang sehat, kadang tidak punya uang tapi sekali waktu juga banyak uang.

Alhamdulillah, dua suasana yang kontradiktif itu saya sudah mengalami. Saat bekerja di surat kabar lokal di Priangan Timur, pertama menjadi tenaga lepas tanpa honor, kemudian dapat honor dasar dan tulisan kemudian bergaji tetap. Semua saya syukuri sebagai anugrah, namun nikmat itu kemudian saya tinggalkan dan beralih frekwensi ke jalur wirausahawan jurnalistik. Hasilnya ternyata mengejutkan, dijalur lepas banyak kemungkinan yang sulit terduga. Maka hanya kreatifitaslah yang menyelamatkan orang-orang wirausaha. ***

Antara Idealisme dan Kebutuhan

Impian apakah yang tertinggi dalam hidup seorang wartawan ? Pertanyaan itu terus mengiang dalam benak saya tatkala melakukan muhasabah. Bayangkan, semua orang yang berjubah wartawan telah menjual semua yang ada dalam tubuhnya. Mengapa? Karena oreintasi pekerjaan diarahkan untuk mendapatkan imbalan materi, yang pada zaman ini menjadi sumber kebahagiaan. Wartawan yang bergaji maupun wirausahawan berita sama-sama menggadaikan idealismenya untuk meraih kebahagiaan materi. Maka sudah dipastikan mereka yang menggendong idealisme, semangat jihad dan perbuatan mulia akan mati langkah sebab ia diasingkan oleh sesama.
Mungkin saya adalah salah satu orang yang harus menanggung beban akibat idealisme. Setidaknya idealisme untuk tetap menjaga muruah (marwah), martabat dan harga diri dalam mencari sumber pendapatan. Idealisme yang saya tegakkan adalah bagaimana agar setiap rezeki yang saya terima itu tetap terbebas dari syubhat (samar-samar),halal, dan diijabqobuli dengan tetesan keringat. Ini tentu saja sangat berat sekali, sebab peluang perkeliruan di dunia wartawan sangat terbuka. Setiap orang yang bermasalah dan berpotensi menjadi obyek pemberitaan baik positif atau negatif berpeluang menghasilkan uang. Selama semua sesuai dengan prosedur, memang tidak masalah.
Namun ketika yang akan diekspos berita negatif, pastilah narasumber akan melakukan penyuapan, rayuan, dan iming-iming imbalan agar berita negatif tidak ditayangkan. Jumlah uangnya menggiurkan untuk kasus semacam ini, maka banyak sang wartawan yang akhirnya takluk dan mengibarkan bendera putih. Dan ketika wartawan tidak mau menerima pemberian suap, berikutnya narasumber akan melakukan intimidasi dan kekerasn fisik. Ini biasanya dialami wartawan idealis yang tidak mempan disuap. Namun sekarang posisi sudah berbalik, wartawan super pragmatis memanfaatkan peluang ini untuk mendapatkan uang. Mereka mengancam, menakut-nakuti dan mengintimidasi narasumber agar disuapi uang.
Dalam situasi yang demikian kacau dan tak beretika itu, saya sendirian berjuang mempertahankan prinsip bahwa siapapun dia,- baik atau buruk orangnya-tidak pernah saya persoalkan selama ia bisa diajak sharing bisnis profesional. Artinya orang tersebut mau bekerjasama saling menguntungkan secara bisnis dan halal secara syariah Islam. Sebab ini murni hubungan muamalah, dengan begitu semua sama-sama enak dan nyaman. Sayangnya, mempertahankan prinsip itupun ternyata tidak sepenuhnya dianggap benar oleh relasi dan masyarakat pembaca media cetak. Setidaknya saya sendiri merasa sunyi dan susah mendapatkan peluang kerjasama. Mengapa? Inilah pertanyaan retoris saya.
Mungkin saja ini imbalan kehidupan untuk mendewasakan diri karena telah gila membawa idealisme. Tapi tidak apalah, semua saya terima dengan lapang dada dan tetap bahagia, sebab ini karunia dan tarbiyah dari Allah agar tetap waspada. Lebih banyak nikmat yang saya terima dibandinkan dengan kesusahan yang menimpa, setidaknya dengan menjalani profesi wartawan secara benar dan bersih mendatangkan banyak saudara dan persahabatan. Inilah harta satu-satunya seorang wartawan. Dan sudah dari sananya, wartawan itu dalam strata sosial kurang mendapatkan tempat, kecuali wartawan yang sudah menjadi bos, pemegang saham media cetak dan pimpinan tertinggi. Ya, wartawan liputan tak ubahnya prajurit, kalau berhasil tidak dipuji, kalau gagal dicaci maki dan kalau mati tidak dicari. ***

Rabu, 06 Mei 2009

Cara Gila Jadi Wartawan !

Kalau anda masih waras, yakinlah anda tidak akan mau jadi wartawan. Mengapa? Saat ini citra wartawan sedang kusut dan cemar, karena profesi yang mulia ini dikotori oleh nafsu serakah dan tamak para pelakunya. Semua orang yang mengaku wartawan, seolah berlomba dalam keserakahan baik dalam urusan dunia maupun kekuasaan lahan. Namun sayang, mereka yang adu otot dan kekuatan itu tidak memiliki kompetensi memadai. Sehingga bukannya dihargai oleh pihak lain, melainkan justru dilecehkan, direndahkan dengan suap receh dan tidak ada marwah dalam diri wartawan. Anehnya banyak wartawan yang nyaman-nyaman saja dikungkung oleh suasana yang merendahkan martabat ini.
Maka tak ada jalan lain, kalau anda ingin jadi wartawan harus gila dulu biar kebal disakiti dan dizalimi tapi tetap punya harga diri. Bagaimana caranya menjadi gila? Gilanya seorang wartawan adalah memainkan kombinasi jurus ketajaman pena dan keahlian membaca tanda-tanda zaman. Kemampuan membaca situasi dalam setiap zaman menjadi mutlak sebab setiap fase kehidupan selalu menyertakan tantangan yang berbeda. Ketajaman pena tidak akan merubah keadaan manakala tidak tepat dengan momentum zaman yang sedang dilalui.
Kehebatan seorang wartawan muncul sesuai dengan tantangan zamannnya, karena itu musim keemasan setiap orang selalu berbeda. Pada saat masyarakat muak dan kesal dengan prilaku pejabat pemerintahan, maka tulisan yang berani dan konfrontatif dengan kebijakan pemerintah akan diapresiasi publik. Wartawan akan menjadi pahlawan dimata masyarakat dan dianggap musuh oleh orang pemerintahan. Sebaliknya pada saat hubungan masyarakat dengan pemerintah harmonis, wartawan yang menulis kebobrokan pemerintah akan dimusuhi masyarakat dan kroni penguasa.
Pada posisi interaksi semacam inilah wartawan harus pandai menempatkan diri. Kalau wartawan pragmatis dan haus materi, ia akan mengekor, menjilat dan melacurkan harga diri kepada penguasa untuk mendapatkan imbal jasa. Ia berada diketiak penguasa menjadi anjing penjaga yang setia. Pola ini yang sekarang banyak dianut oleh “wartawan instan” karena motivasi bekerjanya memang demi perut sendiri. Maka tidak heran jika Dewan Pers dalam penelitiannya menemukan data bahwa 70 persen wartawan yang sekarang beroperasi tidak layak jadi wartawan beneran karena kualifikasi dan kompetensinya dibawah standar. Bagaimana dengan wartawan karir yang menjaga integritas kerja dan idealismenya? Jenis wartawan ini cenderung dijauhi meski karya jurnalistiknya berkualitas dan mencerahkan. Mereka yang punya idealisme sekarang dimarjinalkan dari pergaulan, sebab dianggap makhluk aneh.(Bersambung coy…?)***