Rabu, 05 Agustus 2009

Ketika Bom Bertasbih

Bom ditangan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah merupakan ungkapan bertasbih kepada Allah. Pada dimensi ini bom ditempatkan sebagai alat melindungi diri dan agama Allah yang diinjak orang-orang kafir. Sedangkan jika bom ditangan kaum kafir jahat yang menebar maut, bom menjadi monster yang akan mencabut nyawa secara paksa. Maka memaknai kejahatan sebuah bom harus diletakkan dalam kosntruksi siapa subyek yang melakukan pengeboman. Malah orang kafir bisa menjadikan bom sebagai alibi untuk mengkambing hitamkan kaum penyembah Allah. Serangan 11 September merupakan cikal bakal makar kaum kafir untuk menuding umat Islam. Dengan menempatkan Osama bin Laden sebagai otak peledakan WTC, itu sama artinya dengan mencitrakan Islam pelaku teroris.
Tidak setiap kekerasan itu berdimensi kejahatan, meski secara umum setiap kejahatan mengandung kekerasan. Demikian pula kelembutan tak selamanya berdimensi kebajikan, sebab kejahatan bisa bersembunyi dalam kelembutan.
Logika ini pun berlaku dalam kasus peledakan bom, yang tentu saja sarat makna, sebab dibalik aksi peledakan bom itu terkandung ribuan kepentingan yang tersembunyi. Maknanya tentu saja hanya diketahui oleh sang pelaku, sedangkan yang menonton dan menjadi korban hanya bisa menafsirkan. Namun diatas segalanya yang terhebat adalah “otak atau dalang” yang merekayasa dan menyusun skenario peledakan bom yang memanfaatkan pemain-pemain lugu tapi bernyali besar. Sebab, tidak semua aksi teror bom itu murni kepentingan sang operator, ada juga disana kepentingan sponsor. Bahkan aparat keamanan yang menangkap para teroris pun hanya menjalankan perintah sponsor dari bangsa asing. Demi sponsor itulah sebenarnya kita kemudian menggadaikan kedaulatan bangsa. Kita hanya memenuhi pesanan sponsor supaya dipuji dan kemudian diberi fasilitas.
Mengapa semua ini bisa terjadi ? Kita memang bangsa yang senang membeo, gampang kagum dengan bangsa asing. Semua yang berbau asing, apalagi dari negeri Amerika, pasti ditelan mentah-mentah termasuk salah satunya adalah cara berpikir Amerika. Kita tidak punya kemandirian ekonomi dan politik. Yang mengenaskan lagi adalah kita tidak punya kebebasan berpikir menurut tradisi Indonesia. Sehingga semua produk pemikiran khas Amerika dipakai untuk memandang dan menganalisis situasi Indonesia. Yang paling mutakhir masalah terorisme. Kosakata teror dan teroris itu produk pemikiran Amerika yang lahir pasca serangan 11 September. Padahal sekeras apapun aksi kejahatan di Indonesia tidak pernah dijerat dengan undang-undang terorisme.Tapi sejak Amerika mendesakkan wacana terorisme kita pun membeo dan membebek dengan menerbitkan undang-undang terorisme dan membentuk Densus 88 Anti Teror yang merupakan “pasukan pemburu teroris” yang dilatih dan didanai Amerika. ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar