Selasa, 28 April 2009

Wartawan Oh Wartawan..?

Di suatu pagi surat kabar lokal menurunkan berita berjudul “Enam Wartawan Ditangkap Polisi”. Dalam berita tersebut ditulis, enam wartawan ditangkap karena kedapatan sedang memeras kepala sekolah yang mendapatkan rehab gedung. Menurut kepala sekolah, pihaknya merasa tidak punya salah tapi wartawan terus memaksa minta uang. Sebaliknya wartawan “keukeuh” sang kepala sekolah bersalah karena bangunan rehab tidak sesuai dengan RAB. Polisi tidak mau tahu, yang jelas dengan dalih apapun pemerasan adalah pidana murni. Setelah diselidiki ternyata baik wartawan maupun kepala sekolah ternyata dalam posisi sama-sama salah, setidaknya dari fakta yang terjadi. Mereka yang mengaku wartawan ternyata membarter kasus dengan uang dan kepala sekolah juga tidak menjalankan RAB secara benar.
Bagaimana mengomentari berita diatas? Siapakah yang harus dipersalahkan? Persepsi masyarakat yang membaca berita diatas jelas akan memberikan stigma negatif kepada wartawan dulu. Pasalnya kepala sekolah posisinya sebagai korban. Biasanya kita akan memberikan toleransi kesalahan kepada yang menjadi korban meski salah. Buktinya begitu berita itu turun, ratusan guru bersatu mau menghajar sang wartawan. Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat sekarang. Ya orang salah dengan orang salah berkolusi untuk mendapatkan keuntungan materi. Dan ternyata jarang sekali orang yang benar kerjaannya jadi korban pemerasan wartawan.
Ini hanya salah satu contoh kasus yang menggambarkan betapa rumitnya memberikan penilaian obyektif dari sebuah interaksi antara wartawan dengan narasumber. Malah belakangan ini banyak keluhan dan hujatan yang dialamatkan kepada wartawan. Ada yag membenci, memaki dan bahkan mengancam wartawan, sebab memang ada wartawan yang galak dan kritis dengan tulisan. Namun banyak juga wartawan yang galak mulutnya tapi tangannya jarang menulis. Yang membikin dunia persilatan “riweuh” saat ini adalah wartawan jenis terakhir ini, galak mulutnya tapi tumpul tulisannya. Masyarakat memberikan julukan beragam kepada wartawan jenis ini antara lain WTS (wartawan tanpa surat kabar), wartawan Bodrek, wartawan Uka-uka, dan wartawan Muntaber (muncul tanpa berita). Julukan ini muncul tentu saja untuk memberikan respon prilaku wartawan yang tidak punya kompetensi jurnalistik dan tidak memegang teguh etika profesi. Masyarakat tidak tidak salah memberikan julukan ini sebab memang ada faktanya wartawan yang bergentayangan memburu rupiah.
Namun tidak adil hanya gara-gara ini kita kemudian memberikan penilaian sepihak bahwa semua wartawan kerjaannya negatif dan merugikan. Di antara wartawan yang buruk prilakunya itu masih banyak wartawan sejati yang menjalankan profesinya dengan jujur, taat aturan, memegang teguh etika jurnalistik dan memberikan kontribusi positif kepada pembangunan. Wartawan jenis inilah yang akan menjadi sahabat, ia bisa memperingatkan sekaligus memberikan solusinya. Tulisannya mencerahkan dan inspiratif sehingga masyarakat mendapatkan tambahan ilmu dan wawasan.
Sayangnya wartawan jenis ini belum diakomodir secara baik karena terlanjur kita berprasangka buruk. Kita sudah apriori duluan sehingga banyak peluang kerjasama yang hilang tanpa manfaat apapun. Padahal kalau kita bisa menempatkan wartawan yang bersahabat ini ke dalam ranah pekerjaan kita, ia akan turut membangun kinerja positif. Setidaknya pencitraan diri yang positif akan terbangun, dengan begitu kemitraan antara wartawan dan narasumber sama-sama saling menguntungkan. Ini yang hilang dari ranah kehidupan kita, sebab kita sudah menempatkan wartawan dalam posisi bermusuhan dan tidak bersahabat.
Diluar itu tentu saja ada banyak sudut pandang untuk memetakan dunia wartawan, bisa sudut pandang agama, ekonomi, sosial, politik, hukum, entertain, dan kemanusiaan. Pasalnya, pekerjaan wartawan memang bersentuhan dengan semua ranah kehidupan. Maka wartawan pun menjadi apa yang dipikirkan pelakunya, ia bisa menjadi apa saja sesuai dengan standar hidup yang dibuatnya. Tapi diatas itu semua, bahwa wartawan adalah manusia biasa bisa salah dan benar sesuai dengan ruang dan waktu.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, perjalanan wartawan juga mengalami pasang surut sesuai dengan perubahan oreintasi pers. Diantaranya dari oreintasi perjuangan mengarah kepada bisnis industri media massa. Oreintasi ini jelas mengimbas pula kepada wartawan sebagai salah satu pilar penopang kehidupan pers. Pers bisnis menuntut wartawan selain pandai melakukan kontrol sosial juga harus bisa menjual pesan dibalik pemberitaan. Sebab, pers telah melebar menjadi alat promosi, informasi, hiburan dan sarana silaturahmi. Suasana ini demikian terasa pada saat Orde Baru berkuasa, sehingga kala itu kesejahteraan wartawan meningkat tajam. Wartawan pun sejajar dengan pegawai lainnya dan hidup layak. Meskipun kala itu kebebasan pers dipasung, tapi semua yang terlibat bisnis penerbitan hidupnya sejahtera.
Maka tak heran pada masa ini persepsi masyarakat kepada wartawan sangat positif sebab wartawan waktu itu menjadi makhluk langka. Selain jumlahnya memang sedikit, perusahaan media massa juga terbatas. Hanya perusahaan yang benar-benar bermodal yang sanggup menjalankan bisnisnya. Makanya tidak ada masyarakat yang mengeluh apalagi memperkarakan wartawan. Wartawan menjadi profesi yang prestise sebab seleksi untuk menjadi wartawan juga sangat ketat. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar