Sabtu, 02 Mei 2009

Musim Booming Wartawan

Masa keemasan wartawan dalam penghidupan adalah ketika Orde Baru berkuasa. Kebebasan pers memang dibatasi namun wartawan menikmati kebebasan finansial, sebab ada jaminan kesejahteraan. Yang diuntungkan terutama wartawan pro pemerintah. Sebaliknya sebagian wartawan yang kritis dan berpuasa saat Orde Baru, menyambut Orde Reformasi dengan berbunga-bunga karena pada saat itu lahir UU Pers No.40/1999. Undang-undang ini menjamin kebebasan setiap warga negara mendirikan penerbitan pers. Inilah awal “booming” media massa dan wartawan, sebab undang-undang ini dianggap sebagai peluang pekerjaan dengan jaminan kebebasan pers.
Momentum “booming” ini telah melahirkan ratusan penerbitan media massa yang melibatkan ribuan wartawan. Maka tidak mengherankan kalau belakangan banyak orang tiba-tiba menjadi wartawan tanpa standar kompetensi yang memadai. Seolah semua serba bebas, sehingga banyak orang eksodus ke jalur wartawan. Maka bila sekarang ini ada ribuan wartawan yang berkeliaran, bisa dipastikan setengahnya adalah wartawan yang terjun bebas. Wartawan jenis inilah yang kini menguasai dunia persilatan, mereka menggunakan baju wartawan, tapi jiwa dan habitatnya bukan wartawan. Karena itu, pasar dunia pers semakin tidak kompetitif karena diisi oleh mereka yang bukan pemain sejati.
Sekali lagi tumbuh suburnya wartawan terjun bebas itu bukan semata-mata karena keterdesakan sebuah kebutuhan. Namun akibat iklim dan regulasi pemerintah yang demikian longgar. Selain itu, prilaku masyarakat dan pemerintah yang semakin bebas melakukan pelanggaran aturan juga mendorong suburnya wartawan terjun bebas. Maraknya kasus pemerasan oleh wartawan, adalah bukti bahwa ada sebagian dari anggota masyarakat yang terlibat dalam kesalahan. Sebab ternyata berdasarkan fakta, wartawan tidak akan pernah bisa memeras kalau seseorang itu tidak punya kesalahan. Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh mereka yang senang memamerkan kekuatan seorang wartawan.
Mengapa situasi semacam ini bisa terjadi ? Karena booming wartawan tidak diikuti dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai. Banyak penerbitan media massa yang mengekploitasi SDM wartawan untuk keuntungan, Namun perusahaan penerbitan tersebut tidak memberikan imbal balik yang sesuai standar kebutuhan minimal. Hampir sebagian besar wartawan kinis statusnya freelance. Mereka dipekerjakan tanpa ikatan kekaryawanan, sehingga wartawan akhirnya mengandalkan jurus masing-masing untuk mempertahankan hidupnya. Salah satu jurus yang bermodal kecil adalah dengan “mencari mangsa” yang diperkirakan bakal menghasilkan uang. Inilah yang dilakukan wartawan yang skill bisnisnya rendah. Tapi sekali lagi, wartawan tidak hidup diruang hampa, ia tumbuh dan berkembang bersama lingkungannya. Kalau lingkungannya baik ya baik pula prilakunya. Sebaliknya kalau setiap hari wartawan melihat keburukan ya ia bisa menjadi wartawan yang buruk. Interaksi ini akan

Akhirnya, penulis menyadari prilaku negatif mereka yang mengaku wartawan itu dipengaruhi banyak faktor. Yang paling utama adalah masalah ekonomi atau kesejahteraan. Hubungan kerja wartawan dengan perusahaan bisnis media massa selama ini tidak sepenuhnya mengacu kepada undang-undang tenaga kerja, sebab dalam definisi profesi seorang wartawan itu bukan buruh tapi seorang profesional. Ia sama dengan dosen, pengacara dan pekerja profesional lainnya. Ia mendapatkan imbalan sesuai dengan jasa yang diberikan kepada perusahaan dan masyarakat. Makanya bagi wartawan yang bekerja di perusahaan media besar, otomatis pendapatan dan kesejahteraannya diatas rata-rata, sebab kompetensi dan kualifikasinya tinggi.
Sebaliknya wartawan yang bekerja di perusahaan media dengan omzet kecil, kesejahteraannya juga rendah. Dan biasanya perusahaan sejenis ini memang tidak mempersyaratkan kualifikasi yang ketat dan kompetensi yang tinggi. Maka produk dan standar pekerjaannnya juga dibawah media beroplah besar. Disinilah problem mulai muncul dan bertabrakan tatkala wartawan harus mengaktualisasikan dirinya dalam pergaulan sosial. Ada yang tampil percaya diri dan ada juga yang harus tampil seadanya sesuai dengan kondisi masing-masing. Diakui atau tidak, kesenjangan ekonomi antar wartawan pun demikian mencolok yang akhirnya memicu persaingan yang tidak sehat. Situasi ini memang tidak mengenakkan, tapi semua mengalir sesuai dengan irama. Inilah sekilas potret kecil dunia wartawan dari masa ke masa.
Pada akhirnya semua kembali kepada diri masing-masing. Yang jelas menjadi wartawan semestinya adalah panggilan jiwa agar profesi ini tidak disalahgunakan untuk tujuan yang merusak tatanan. Sebab dalam profesi ini ada kemuliaan yang menentukan martabat seseorang dalam menjalani karir seorang wartawan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar