Sabtu, 09 Mei 2009

Antara Idealisme dan Kebutuhan

Impian apakah yang tertinggi dalam hidup seorang wartawan ? Pertanyaan itu terus mengiang dalam benak saya tatkala melakukan muhasabah. Bayangkan, semua orang yang berjubah wartawan telah menjual semua yang ada dalam tubuhnya. Mengapa? Karena oreintasi pekerjaan diarahkan untuk mendapatkan imbalan materi, yang pada zaman ini menjadi sumber kebahagiaan. Wartawan yang bergaji maupun wirausahawan berita sama-sama menggadaikan idealismenya untuk meraih kebahagiaan materi. Maka sudah dipastikan mereka yang menggendong idealisme, semangat jihad dan perbuatan mulia akan mati langkah sebab ia diasingkan oleh sesama.
Mungkin saya adalah salah satu orang yang harus menanggung beban akibat idealisme. Setidaknya idealisme untuk tetap menjaga muruah (marwah), martabat dan harga diri dalam mencari sumber pendapatan. Idealisme yang saya tegakkan adalah bagaimana agar setiap rezeki yang saya terima itu tetap terbebas dari syubhat (samar-samar),halal, dan diijabqobuli dengan tetesan keringat. Ini tentu saja sangat berat sekali, sebab peluang perkeliruan di dunia wartawan sangat terbuka. Setiap orang yang bermasalah dan berpotensi menjadi obyek pemberitaan baik positif atau negatif berpeluang menghasilkan uang. Selama semua sesuai dengan prosedur, memang tidak masalah.
Namun ketika yang akan diekspos berita negatif, pastilah narasumber akan melakukan penyuapan, rayuan, dan iming-iming imbalan agar berita negatif tidak ditayangkan. Jumlah uangnya menggiurkan untuk kasus semacam ini, maka banyak sang wartawan yang akhirnya takluk dan mengibarkan bendera putih. Dan ketika wartawan tidak mau menerima pemberian suap, berikutnya narasumber akan melakukan intimidasi dan kekerasn fisik. Ini biasanya dialami wartawan idealis yang tidak mempan disuap. Namun sekarang posisi sudah berbalik, wartawan super pragmatis memanfaatkan peluang ini untuk mendapatkan uang. Mereka mengancam, menakut-nakuti dan mengintimidasi narasumber agar disuapi uang.
Dalam situasi yang demikian kacau dan tak beretika itu, saya sendirian berjuang mempertahankan prinsip bahwa siapapun dia,- baik atau buruk orangnya-tidak pernah saya persoalkan selama ia bisa diajak sharing bisnis profesional. Artinya orang tersebut mau bekerjasama saling menguntungkan secara bisnis dan halal secara syariah Islam. Sebab ini murni hubungan muamalah, dengan begitu semua sama-sama enak dan nyaman. Sayangnya, mempertahankan prinsip itupun ternyata tidak sepenuhnya dianggap benar oleh relasi dan masyarakat pembaca media cetak. Setidaknya saya sendiri merasa sunyi dan susah mendapatkan peluang kerjasama. Mengapa? Inilah pertanyaan retoris saya.
Mungkin saja ini imbalan kehidupan untuk mendewasakan diri karena telah gila membawa idealisme. Tapi tidak apalah, semua saya terima dengan lapang dada dan tetap bahagia, sebab ini karunia dan tarbiyah dari Allah agar tetap waspada. Lebih banyak nikmat yang saya terima dibandinkan dengan kesusahan yang menimpa, setidaknya dengan menjalani profesi wartawan secara benar dan bersih mendatangkan banyak saudara dan persahabatan. Inilah harta satu-satunya seorang wartawan. Dan sudah dari sananya, wartawan itu dalam strata sosial kurang mendapatkan tempat, kecuali wartawan yang sudah menjadi bos, pemegang saham media cetak dan pimpinan tertinggi. Ya, wartawan liputan tak ubahnya prajurit, kalau berhasil tidak dipuji, kalau gagal dicaci maki dan kalau mati tidak dicari. ***

2 komentar:

  1. wah kacian juga tuh wartawan hehe.. makanya pindah usaha aja bos

    BalasHapus
  2. pak kalau bisa wartawan diurusi oleh bupati agar tetap sejahtera...

    BalasHapus